Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawabannya sederhana saja: memenuhi harapan bapak. Dulu bapak saya pernah mengatakan,”Kalau serius mau jadi dosen, ya harus sekolah sampai doktor”. Apa alasan persisnya, bapakpun mungkin juga tidak tahu. Tiap orang punya jawaban yang berbeda. Spektrumnyapun bisa bervariasi, dari jawaban yang iseng sampai yang sangat serius dan ilmiah. Meskipun mungkin menarik untuk membahas jawaban-jawaban tersebut, tapi Bab ini tidak akan membicarakan tentang hal itu. Bab ini justru akan mengupas tentang hal-hal yang “berat” dari gelar doktor. Maksudnya bukan untuk mengecilkan semangat bagi mereka yang akan berusaha meraihnya, tapi lebih pada meletakkan gelar tersebut pada posisi dan peran yang sesuai, agar siapapun yang memiliki gelar ini bisa memberikan kontribusinya secara maksimal.

Saat ini gelar doktor memang sedang menjadi primadona. Sesuatu yang sexy, kata orang, sehingga banyak diburu. Siapa saja yang gencar memburu gelar ini? Mengapa mereka melakukannya?

Pemburu gelar doktor yang paling antusias tentu saja adalah orang-orang yang bekerja di dunia akademik dan riset. Bagi para dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset, gelar doktor adalah tujuan formal yang paling tinggi dalam jenjang pendidikan akademik yang mungkin mereka tempuh. Bagi para insan akademik, derajad doktor tidak hanya dilihat sebagai atribut yang bersifat eksternal (seperti sebutan “haji” misalnya), tetapi lebih merupakan tuntutan yang melekat pada profesi pendidik itu sendiri. Tidak ada dosen yang tidak ingin meraih gelar doktor, karena pencapaian itu merupakan bagian dari tugas pekerjaan sebagai dosen. Apalagi perguruan tinggi sendiri menawarkan jenjang ini sebagai salah satu core businessnya (seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 1999).

Selain itu, pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan bahwa yang berhak mengajar pada program magister (S2) dan doktor (S3) adalah mereka yang memiliki gelar S3. Syarat formal ini membuat para dosen di perguruan tinggi yang memiliki program S2 dan S3 semakin berkeinginan untuk meraih gelar akademik tertinggi ini.

Selain itu, diakui atau tidak, di lingkungan kampus atau lembaga riset masih ada budaya tak tertulis tentang perbedaan perlakuan atau pandangan berdasarkan status akademik. Pemegang gelar S3 mendapatkan hak atau privilege dalam berbagai bentuk, yang tidak bisa dinikmati oleh mereka yang “hanya” memiliki gelar S2 atau S1. Contohnya, akhir-akhir ini mulai muncul beberapa iklan di media massa untuk mencari kandidat pejabat perguruan tinggi (dekan atau rektor). Dalam persyaratannya hampir semua mencari calon yang bergelar doktor. Di tempat kerja saya, bahkan syarat untuk menjadi ketua jurusanpun salah satunya adalah memiliki gelar S3. Apakah benar seorang doktor selalu lebih mumpuni dalam hal pengelolaan institusi pendidikan tinggi dibandingkan seorang master atau sarjana? Apakah persyaratan tersebut lebih bertujuan untuk menjaga image branding, tidak ada yang tahu jawaban pastinya.

Pada tataran yang lebih informal, masih juga banyak dijumpai budaya “look who’s talking”. Kalau ada orang berpendapat, dilihat dulu siapa dia. Pendapat dari seorang doktor pada umumnya lebih diperhatikan daripada pendapat orang yang bukan doktor (kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang memang eksepsional). Wajarlah jika fenomena semacam ini juga memicu orang untuk meraih derajad akademik tertinggi ini.

Tentu saja banyak orang yang dimotivasi oleh karakteristik dari program doktor itu sendiri. Salah satu kriteria lulus doktor adalah penelitiannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Agar bisa memberikan kontribusi yang signifikan, riset S3 harus mengandung orisinalitas. Orisinalitas berarti berada di sisi paling depan dalam topik yang ditelitinya. Orang sering mengatakan bahwa seorang doktor adalah orang yang paling tahu/mengerti tentang topik risetnya. Perasaan “berada di ujung depan” ini sering menjadi motivasi internal yang dahsyat bagi seorang mahasiswa S3. Baginya, kondisi ini menjadi pendorong untuk senantiasa berkarya mengembangkan bidang ilmunya dengan melakukan riset-riset dan mempublikasikan hasilnya, tidak hanya selama ia belajar, tetapi bahkan setelah selesai studinya.

Ada juga yang bersemangat sekolah S3 karena tertarik dengan prosesnya. Belajar pada jenjang S3 tidak seperti belajar pada jenjang yang lebih rendah. Ada tuntutan untuk bisa mandiri dalam menjalankan risetnya, selain ketrampilan dalam mengeksplorasi unknown areas dan menemukan  hal-hal menarik yang bisa dikontribusikan. Bagi seorang yang punya jiwa ilmuwan, perjalanan intelektual ini sangat menantang karena dapat memberikan penghargaan yang sesuai dengan jiwanya: kepuasan batin karena bisa menemukan hal-hal baru yang bermanfaat.

Popularitas gelar doktor juga meningkat di kalangan non-akademik. Dalam beberapa tahun terakhir ini cukup banyak orang-orang yang dikenal berkarya di bidang non-akademik juga tertarik mendapatkan gelar doktor. Pejabat pemerintah, direksi BUMN, pebisnis, sampai ke politisi dan pengurus partai politik juga tertarik menceburkan diri dalam arus ini. Belum ada yang meneliti secara ilmiah tentang fenomena ini, tetapi analisis sederhana tentang penyebabnya adalah sifat masyarakat Indonesia yang gemar terhadap simbol-simbol sosial. Doktor adalah simbol kepandaian dan intelektualitas. Doktor juga sedikit banyak mencerminkan status ekonomi yang cukup tinggi, karena biaya pendidikannya cukup mahal. Singkat kata, doktor adalah merk (brand) yang bernilai tinggi. Dengan gelar ini, si pemegang berharap bisa mendapatkan penghargaan sosial yang tinggi dari lingkungannya. Suka atau tidak, inilah kenyataan yang berkembang di sebagian masyarakat Indonesia.

Tapi apa yang sebenarnya diharapkan dari seorang doktor? Apakah benar doktor hanya berhenti sebatas status sosial saja? Mestinya tidak, karena nilai tinggi dari sebuah image selalu muncul dari substansi yang memang berkualitas.

Harapan Bagi Seorang Doktor

Tentang tanggung jawab moral bagi seseorang yang telah menyandang gelar doktor, saya jadi teringat film Spiderman. Dalam film ini, paman Ben mengatakan kepada Peter Parker,”With great power, comes great responsibility” (Sony Pictures, 2009). Ungkapan tersebut berlaku juga bagi seorang doktor, yang dengan gelar itu ia punya posisi terhormat. Sayangnya banyak yang lupa atau bahkan tidak memahami tentang tanggung jawab moral yang mengikutinya, sehingga kontribusi dan karyanya berhenti setelah gelar S3 diperoleh. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa ketidaktahuan tentang hal ini kemudian berimplikasi pada proses studi yang tidak berjalan secara semestinya.

Ada oknum-oknum yang tergiur menempuh jalan pintas yang menyesatkan: tidak mau bersusah payah menempuh proses riset S3. Hukum ekonomipun berlaku: jika ada permintaan, maka ada penawaran. Muncullah kasus jual-beli ijazah. Perguruan-perguruan tinggi “papan nama” muncul dengan tawaran program doktor instan, hanya dengan “kuliah” sekian bulan dan membayar sekian Rupiah atau Dollar, ijazahpun bisa digenggam. Perlu dicatat bahwa beberapa perguruan-perguruan tinggi bodong semacam ini justru berlokasi di negara-negara maju.

Modus jalan pintas yang lain adalah dengan memanfaatkan biro-biro jasa pembuatan disertasi. Di kota-kota basis pendidikan di Indonesia banyak sekali usaha-usaha biro jasa semacam ini. Iklannya bertebaran di mana-mana, dari koran, Internet, sampai kertas lusuh yang di-laminating dan ditempel di pohon. Oknum yang bersangkutan bisa saja resmi terdaftar sebagai mahasiswa S3 di sebuah perguruan tinggi, tetapi dia mengabaikan tahapan-tahapan riset yang menjadi roh studi S3 itu sendiri. Dengan bantuan sebuah biro jasa, mulai pemilihan topik sampai dengan penulisan naskah disertasinya direkayasa sedemikian rupa sehingga kelihatan seolah-olah asli. Dia sibuk merekayasa proses, bukan menjalani prosesnya.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, seorang doktor berdiri di ujung horison perkembangan ilmu di bidangnya. Dia berada di tip of the edge, sehingga tugasnya setelah menyelesaikan studi doktoralnya adalah melanjutkan pengembangan ilmu di bidang tersebut. Berdasarkan penelitian yang telah ia lakukan selama studi, ia mengeksplorasi daerah-daerah baru yang belum terjamah dengan riset-riset lanjutan. Hasilnya dikontribusikan dalam bentuk tulisan ilmiah atau aplikasi-aplikasi nyata, dan siklus ini berlanjut terus. Dengan cara inilah ilmu pengetahuan bisa berkembang, dan peran seorang doktor adalah menjadi ujung tombak dalam usaha ini.

Memang harus diakui bahwa peran di atas sangatlah ideal, dan banyak doktor di Indonesia tidak mampu menjalankannya karena berbagai sebab. Seorang doktor baru, terutama yang berasal dari luar negeri, biasanya memiliki semangat besar dalam menjalankan peran barunya itu. Sayangnya begitu pulang ke tempat kerjanya di Indonesia, lingkungannya tidak mampu mendukung harapan yang tinggi tersebut. Banyak yang kemudian menjadi frustrasi dan akhirnya mencari jalan keluar yang jauh dari cita-cita ideal tersebut.

Meskipun peran ideal jarang yang bisa dipenuhi secara konsisten, tetap saja seorang doktor adalah manusia yang dikaruniai intelektualitas tinggi. Dengan segala keterbatasan yang ada, ia mestinya mampu mencari peluang di mana ia bisa berkontribusi melalui kapasitas intelektualnya yang tinggi tersebut. Di perguruan tinggi atau lembaga riset, ia tetap bisa berkarya, meskipun mungkin jenis risetnya tidak sama seperti saat ini bersekolah di luar negeri. Banyak problem nyata di masyarakat yang perlu dicari solusinya, dan beberapa persoalan memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga memerlukan kapabilitas yang istimewa juga. Seorang doktor memiliki bekal dasar untuk menangani hal semacam ini, dan ini membuka peluang baginya untuk bisa berkontribusi menjalankan perannya.

Seorang doktor adalah orang yang terlatih dalam melakukan riset secara mandiri. Riset adalah sebuah aktivitas yang mengeksplorasi intelektualitas manusia untuk mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi. Riset dilakukan menuruti prinsip dan kaidah ilmiah universal seperti berpikir secara runtut dan argumentatif, menjunjung tinggi obyektivitas dan kejujuran ilmiah, serta rendah hati dalam mengakui karya-karya orang lain yang berpengaruh atau terkait dengan risetnya. Kompetensi inilah yang dituntut dari seorang doktor, di manapun ia bekerja. Singkat kata, seorang doktor mungkin tidak bisa mempertahankan posisi leading edgenya dalam pengembangan ilmu pengetahuan karena berbagai sebab, tetapi ia tetap dituntut untuk bisa menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bernas, obyektif, dan orisinil dalam profesinya.

Devaluasi Gelar Doktor

Tidak bisa dipungkiri bahwa motivasi seseorang untuk meraih gelar doktor adalah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonominya. Banyak yang menganggap gelar doktor sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan mencapai tujuan tersebut, bukan karena kompetensi atau kapabilitas yang ditawarkannya, tapi lebih karena persepsi terhadap nilai gelar tersebut.

Berbicara tentang persepsi terhadap nilai gelar, ada fenomena menarik tentang persepsi masyarakat terhadap gelar akademik, khususnya pada jenjang magister atau S2. Sampai pertengahan tahun 90an, gelar S2 masih dianggap bernilai tinggi karena belum terlalu banyak orang yang memegangnya. Kondisi berubah mulai sekitar menjelang tahun 2000 saat Indonesia diterjang krisis moneter. Banyak lulusan baru S1 dan mereka yang kehilangan pekerjaan berbondong-bondong mengikuti program S2 untuk meningkatkan daya tawar mereka. Akibatnya sejak itu produksi lulusan S2 menjadi melimpah, mengisi berbagai posisi pekerjaan. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang mensyaratkan seorang dosen harus bergelar minimal S2 untuk bisa mengajar di program S1 semakin mendorong dosen untuk menempuh studi pascasarjananya.

Seiring dengan bertambahnya jumlah lulusan S2, nilai persepsional terhadap gelar S2 akan menurun. Gelar master bukanlah sesuatu yang luar biasa. Bagi para pemegang gelar S2, kondisi ini mengakibatkan kompetisi yang semakin ketat di antara mereka. Mereka saling berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan, pengakuan (recognition), dan hak-hak khusus (privilege) yang melekat pada gelar tersebut. Gelar S2 bukanlah merupakan competitive advantage bagi pemegangnya, dan mereka harus mencari faktor-faktor lain untuk bisa memenangkan persaingan.

Kondisi yang serupa diramalkan akan terjadi pada lulusan S3 dalam waktu yang tidak terlalu lama. Seiring dengan naiknya popularitas program S3, jumlah mahasiswanyapun meningkat, dan dalam beberapa tahun kedepan, jumlah lulusan S3 juga akan bertambah. Mirip dengan fenomena yang terjadi dengan gelar S2, nilai persepsional terhadap gelar doktor akan menurun, dan gelar S3 bukanlah faktor yang menentukan dalam memenangkan kompetisi.

“Medan peperangan” bagi para doktor pada masa mendatang terletak pada seberapa jauh mereka bisa hadir dan berkontribusi di lingkungannya masing-masing. Di pergaulan akademik internasional misalnya, eksistensi seorang doktor ditentukan oleh publikasi internasionalnya atau keterlibatannya dalam berbagai kerjasama ilmiah internasional. Ada pepatah barat yang mengatakan: publish or perish. Ungkapan yang ditujukan kepada para ilmuwan ini mematok publikasi sebagai syarat eksistensi mereka.

Di lingkup lokal, kompetisi juga tidak kalah serunya. Banyak ceruk-ceruk  yang menyediakan kesempatan untuk berkontribusi dan berprestasi, tetapi banyak juga pemain yang masuk ke sana. Jurnal-jurnal dan seminar-seminar nasional, hibah-hibah riset nasional, tawaran-tawaran sebagai konsultan, sampai ke jabatan-jabatan di lingkungan pemerintahan adalah beberapa contoh battlefield bagi para doktor kita kelak.

Pertanyaannya kemudian adalah: jika gelar doktor sendiri sudah bukan lagi faktor dominan penentu kesuksesan, lalu bagaimana caranya untuk bisa survive dan berkembang?

Buku ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut secara spesifik, tetapi nampaknya ada satu trend menarik tentang requirements SDM pada masa yang akan datang. Daya saing seseorang akan lebih ditentukan oleh kualitas personal yang bersangkutan, bukan oleh atribut-atributnya. Banyak ahli SDM yang mencoba mengidentifikasi penentu kualitas personal, dan semuanya mengarah ke faktor-faktor seperti adaptabilitas, komitmen, semangat (passion), tidak mudah menyerah, dan fokus (Baker, 2006)(Scarborough, —)(Inglish, 2009).

Kriteria yang sama juga berlaku untuk para doktor. Tanpa kualitas personal seperti yang disebutkan di atas, mustahil untuk memenangkan persaingan. Jika hal ini terjadi, harapan yang telah lama dipupuk, serta usaha dan biaya yang telah dikeluarkan bisa menjadi sia-sia.