Studi S3 pada umumnya memerlukan dana yang tidak sedikit. Untuk bidang-bidang tertentu bahkan kebutuhan dananya besar sekali, terkait dengan alat dan bahan yang diperlukan untuk risetnya. Bagi banyak calon mahasiswa S3, biaya ini berada di luar jangkauan kemampuan keuangan pribadinya, sehingga keberlangsungan studinya sangat tergantung pada ketersediaan sumber dana pendukung (beasiswa).

Mencari beasiswa itu gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena sesungguhnya persyaratannya relatif mudah untuk dipenuhi. Jika secara akademis seseorang sudah punya modal yang kuat, persyaratan lainnya biasanya lebih bersifat administratif saja. Yang menjadi sulit adalah kenyataan bahwa proses seleksi dan keputusan pemberian beasiswa berada di luar kewenangan calon mahasiswa. Rasio yang tinggi antara pelamar dan yang diterima, adanya preferensi (misalkan, preferensi terhadap wanita daripada laki-laki, atau terhadap calon dari Indonesia bagian timur daripada dari Indonesia bagian barat), atau aspek-aspek subyektif lainnya adalah contoh-contoh uncontrollable factors yang membuat seleksi beasiswa menjadi tidak mudah diprediksi hasilnya.

Tiap beasiswa memiliki ciri masing-masing, karenanya strategi untuk mendapatkannya juga berbeda. Untuk bagian yang bisa dilakukan oleh calon pelamar, tips umumnya adalah perhatikan benar persyaratan-persyaratan yang diminta, terutama pada saat seleksi administratif (dokumen). Ingatlah bahwa pada saat itu jumlah pelamar banyak sekali, dan cara yang mudah bagi pemberi beasiswa untuk memilih (shortlisting) adalah berdasarkan kelengkapan dokumen. Dokumen yang kurang lengkap sedikit saja bisa membatalkan eligibilitasnya.

Selain itu, usahakan untuk memberikan yang lebih baik daripada yang diminta (exceed the expectation). Ingatlah bahwa berusaha terpilih pada dasarnya adalah membuat pengambil keputusan tertarik pada kita. Secara psikologis, ketertarikan itu bisa muncul jika kita bisa memenuhi atau bahkan melebihi standar harapan mereka. Banyak hal kecil bisa dilakukan, misalnya menata semua persyaratan dengan rapi dan urut, memberikan checklist, atau membawa dokumen-dokumen pendukung yang bisa memperkuat profil kita, meskipun itu tidak dipersyaratkan.

Buku ini tidak bertujuan mendaftar program-program beasiswa atau mengupas tips-and-tricks dalam berburu beasiswa. Ada banyak sumber informasi online yang bisa diakses. Masukkan kata kunci “informasi beasiswa” atau “mailing list beasiswa” ke layanan pencarian Google, maka akan muncul banyak referensi yang bisa digunakan.

Mencari Beasiswa vs Mencari Sekolah

Pada umumnya skema beasiswa selalu dikaitkan dengan program sekolah (khususnya jenjang pascasarjana). Banyak beasiswa yang mensyaratkan surat penerimaan (letter of acceptance) dari sebuah perguruan tinggi yang dituju. Hal ini terutama berlaku untuk beasiswa untuk studi di luar negeri. Dengan demikian, sebelum memulai usaha mencari beasiswa, calon mahasiswa perlu menentukan dulu sekolah yang akan dituju, lalu mengikuti proses pendaftaran sampai mendapatkan kepastian penerimaannya, baru mencari beasiswanya. Jadi dalam banyak kasus, urutan proses melamar beasiswa adalah sebagai berikut:

  1. Melengkapi persyaratan dokumen untuk melamar sekolah
  2. Melengkapi persyaratan-persyaratan lain (misalnya, tes TOEFL/IELTS, tes TPA, dan sebagainya)
  3. Mengikuti proses pendaftaran di perguruan tinggi yang dituju
  4. Mendapatkan bukti penerimaan (setelah dinyatakan diterima)
  5. Melengkapi persyaratan dokumen untuk melamar beasiswa dan menyertakan bukti penerimaan dari perguruan tinggi yang dituju

Mendapatkan sekolah pada umumnya relatif lebih mudah daripada mendapatkan beasiswa. Pertama karena pilihan perguruan tinggi yang tersedia lebih banyak, dan kedua karena faktor-faktor penentu keberhasilannya melekat pada diri pelamar (misalnya: IP, ranking, rekomendasi dari pembimbing, atau jumlah publikasi sebelumnya). Mendapatkan beasiswa lebih sulit karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada faktor-faktor penentu yang berada di luar lingkup kendali pelamar.

Karena mencari sekolah lebih mudah daripada mendapatkan beasiswa, dan dalam banyak kasus kepastian penerimaan di perguruan tinggi menjadi persyaratan melamar beasiswa, maka pelamar disarankan untuk mengamankan faktor sekolah ini dulu. Artinya, pastikan untuk mendapatkan sekolah dulu, baru kemudian fokus untuk mencari beasiswa. Dengan strategi ini, kita dapat “menyebar” aplikasi ke berbagai sumber beasiswa dan berharap bisa menjaring salah satunya. Jika ingin menjalankan strategi ini, perhatikan masalah waktu. Alokasikan waktu yang cukup untuk melamar ke perguruan tinggi target, sehingga pada saatnya melamar beasiswa, tidak perlu terburu-buru menjalaninya.

Sedikit persoalan mungkin muncul jika pendaftaran perguruan tinggi mensyaratkan adanya sumber dana yang jelas. Di sini muncul ketergantungan antara keduanya: perguruan tinggi mensyaratkan sumber pendanaan, sementara kita memerlukan bukti penerimaan di perguruan tinggi untuk mencari beasiswa. Untuk mengatasi hal ini, pelamar dapat menceritakan situasinya kepada perguruan tinggi dan memintanya untuk menerbitkan bukti penerimaan bersyarat (diterima, tetapi menunggu konfirmasi sumber pendanaan yang pasti).

Kendala lain yang perlu diwaspadai adalah persyaratan bahasa (TOEFL atau IELTS) dan potensi akademik (TPA, GRE, GMAT, dan sejenisnya). Jika persyaratan skor yang diminta belum terpenuhi, maka calon mahasiswa perlu mengalokasikan cukup waktu untuk bisa memenuhinya. Kemampuan berbahasa dan potensi akademik adalah sesuatu yang tidak mungkin diubah secara drastis dalam waktu singkat. Skor TOEFL bisa ditingkatkan dengan cara mengikuti tes beberapa kali secara beruntun, tetapi menurut pengalaman beberapa mahasiswa yang melakukannya, kenaikan skornya tidak terlalu signifikan. Memang idealnya adalah menyiapkan persyaratan ini jauh hari sebelumnya, misalkan dengan menjalani program pelatihan intensif dalam jangka waktu yang cukup lama.

Yang juga perlu diperhatikan adalah waktu pelaksanaan tes. Tes TOEFL internasional, GRE, atau GMAT biasanya diselenggarakan hanya beberapa kali dalam setahun. Timing perlu dijaga dengan cermat, karena jika gagal atau terlewat, artinya beberapa bulan akan terbuang.

Melamar Banyak Beasiswa dalam Waktu Bersamaan

Salah satu strategi yang sering dilakukan orang adalah melamar beasiswa ke banyak tempat pada saat yang hampir bersamaan. Kadang-kadang dua beasiswa diumumkan pada waktu yang hampir bersamaan, dan pelamar harus memilih salah satunya. Kondisi ini sering memunculkan dilema, mana yang harus dipilih. Misalkan ada dua pasang lamaran beasiswa dan sekolah, S1B1 dan S2B2. Calon mahasiswa punya preferensi S1B1, tetapi ternyata S2B2 diumumkan lebih dulu. Contoh kasus lain, misalnya preferensinya ke sekolah S1, tetapi untuk beasiswa ia lebih memilih B2. Kebetulan pengumuman beasiswa B2 lebih dulu daripada B1. Jika ia menerima B2, maka ia harus masuk ke S2, padahal sebenarnya ia lebih suka masuk ke S1. Bagaimana mengambil keputusan dalam situasi seperti ini?

Ini adalah persoalan mengambil sikap yang terkait dengan resiko. Seberapa jauh pelamar berani menanggung resiko dalam mendapatkan apa yang ia inginkan. Dalam contoh pertama, apakah pelamar berani mengabaikan S2B2 untuk meraih S1B1? Pada contoh kedua, maukah ia mengorbankan B2 demi menunggu B1 yang akan mengantarkannya ke sekolah S1 idamannya?

Untuk memutuskan, tentu saja perlu berhitung resiko-resiko yang mungkin terjadi. Resiko terburuk adalah jika tidak bisa masuk ke perguruan tinggi target, dan beasiswapun juga meleset. Resiko yang lebih ringan adalah tidak bisa mendapatkan salah satu yang diinginkan. Kondisi inilah yang paling sering dihadapi dan memaksa pelamar untuk memilih. Beasiswa mestinya mendapatkan prioritas karena lebih sulit diperoleh. Artinya, jika sebuah beasiswa sudah pasti didapatkan, lebih baik jangan melepaskannya demi mendapatkan beasiswa atau sekolah lain yang mungkin lebih diinginkan tapi belum pasti. Dalam contoh di atas, jika sudah diterima di S2B2, sebaiknya tidak melepaskannya hanya untuk mendapatkan S1B1.

Pada saat mengumumkan, biasanya pemberi beasiswa meminta pelamar yang berhasil untuk menandatangani surat penerimaan tawaran beasiswa (offer letter) atau bahkan kontrak. Isinya adalah kesediaan pelamar untuk menerima beasiswa dan kesanggupannya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kadang-kadang muncul persoalan: bagaimana jika pelamar diterima di lebih dari satu beasiswa, sementara ia sudah terlanjur menandatangani surat penerimaan tawaran?

Tentu saja pelamar harus memilih, dan kadang-kadang ia harus mengundurkan diri dan membatalkan surat penerimaan tawaran yang sudah ditandatanganinya. Hal ini memang bukan tindakan yang diinginkan. Pemberi beasiswa pasti akan kecewa, karena ia akan rugi waktu dan biaya. Untuk itulah pelamar memang harus benar-benar berhitung tentang efek pengunduran dirinya. Hal ini penting diperhatikan terutama jika persyaratan beasiswa terkait dengan institusinya. Ada beasiswa yang mengatakan bahwa pengunduran diri seorang pelamar akan berimplikasi negatif terhadap institusi afiliasi pelamar. Kalaupun akhirnya ia harus mengundurkan diri, ia perlu mencari alasan yang benar-benar rasional dan dapat diterima. Jangan diam saja, atau beralasan bahwa sebenarnya ia mengharapkan beasiswa lain yang lebih baik. Alasan yang rasional biasanya terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi di luar kekuasaan pelamar dan menyebabkan ia tidak bisa memenuhi tawaran beasiswa tersebut. Permohonan pengunduran diri harus dituangkan dalam bentuk surat, lebih baik lagi kalau surat itu resmi dari institusinya.