Keluarga adalah faktor pendukung penting dalam suksesnya studi S3, terutama dalam menjaga agar semangat dan motivasi tetap tinggi. Sebelum melamar program S3, sangat disarankan keluarga, terutama pasangan calon mahasiswa (suami atau istri), dimintai persetujuan dan dukungannya. Ini adalah modal penting dalam memulai perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tantangan, dan kendala.

Situasi menjadi tidak sederhana karena kondisi keluarga juga tergantung pada calon pelamar. Seorang ayah yang sekolah S3 tentu akan berkurang perhatiannya pada keluarga, bahkan mungkin terganggu kewajibannya sebagai kepala keluarga. Seorang ibu yang menjadi mahasiswa S3 jelas tidak mungkin memberikan perhatian kepada anak-anaknya secara maksimal. Jadi dukungan dari keluarga sebenarnya selalu “bersyarat”: dukungan akan diberikan jika keluarga yakin bahwa ekses-ekses selama menjalani program S3 tidak akan menggoyahkan kehidupan rumah tangga dalam aspek apapun. Untuk itulah keluargapun perlu disiapkan.

Persiapan keluarga bisa bermacam-macam bentuknya, dari yang bersifat material maupun mental. Yang bersifat material misalnya pengaturan-pengaturan yang terkait dengan pengasuhan anak, anggaran rumah tangga, atau hal-hal lain terkait dengan kehidupan rumah tangga yang berubah karena berkurangnya peran ayah/ibu. Persiapan material ini bisa lebih rumit lagi jika calon mahasiswa bersekolah di luar negeri. Tambahan hal-hal yang perlu disiapkan antara lain: mencari rumah tinggal yang sesuai, mencari sekolah untuk anak, sampai dengan mencarikan kegiatan untuk pasangan.

Persiapan mental tidak kalah penting, terutama bagi pasangan calon mahasiswa. Ia harus menyiapkan diri untuk menanggung sebagian beban yang ditinggalkan oleh pasangannya. Seorang istri yang ditinggalkan suami belajar S3 mungkin harus siap dengan tugas-tugas seorang bapak, demikian pula sebaliknya. Jika sekolahnya di luar negeri dan keluarga diajak serta, faktor-faktor ini perlu ditambah dengan kemungkinan kejutan budaya (culture shock), kesulitan berkomunikasi, dan perasaan-perasaan lain yang dapat mengganggu (jenuh, bosan, kesepian, dan lain-lainnya). Di luar negeri, hal-hal yang sebenarnya sederhana bisa memicu masalah serius, sehingga harus diperhatikan dengan cermat. Istri yang merasa kesepian dan bosan karena tidak bisa masuk ke lingkungan baru, atau suami yang tidak bisa bekerja karena tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan adalah contoh-contoh keadaan yang harus dicarikan solusi. Jika tidak, istri atau suami yang mengalami masalah seperti itu dapat terganggu psikisnya dan berbahaya bagi kehidupan keluarga secara keseluruhan.

Kunci sukses bagi keluarga (khususnya pasangan) dalam menghadapi kondisi ditinggal sekolah adalah kesediaan untuk menerima dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang terjadi. Kesediaan untuk menerima perubahan terkait dengan pandangan dan sikap. Diperlukan keterbukaan dan keluwesan pandangan, terutama untuk menghadapi hal-hal baru yang mungkin tidak sejalan dengan cara pandang pribadi. Hal ini banyak terjadi saat suami/istri mengikuti pasangannya yang sekolah di luar negeri. Kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa budaya dan kebiasaan orang di luar negeri kadang tidak cocok dengan pandangan pribadi menjadi titik awal dalam usaha-usaha penyesuaian. Dalam hal ini, yang paling penting adalah kemampuan untuk memegang prinsip-prinsip pribadi tanpa harus terganggu dengan pandangan dan kebiasaan lingkungan yang berbeda. Keengganan untuk menerima lingkungan dengan tatacara yang berbeda hanya akan menimbulkan pertentangan dalam hati, yang akhirnya dapat menimbulkan stress yang berkelanjutan.

Selanjutnya kesediaan untuk menerima perbedaan perlu ditindaklanjuti dengan kesediaan untuk beradaptasi secara aktif. Ini adalah manifestasi dari kesediaan untuk masuk ke lingkungan baru. Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam, tetapi yang jelas baik mahasiswa maupun pasangan dan keluarganya mencoba untuk berbaur dan menyatu dengan lingkungan barunya. Perlu kesediaan untuk memahami kultur dan kebiasaan di tempat tersebut, mengikuti apa yang bisa diikuti, termasuk berkomunikasi dalam bahasa lokal.

Bersekolah di dalam negeri juga tidak kalah beratnya, apalagi bagi mahasiswa yang berprofesi sebagai dosen dan ia bersekolah di perguruan tingginya sendiri. Pada kenyataannya, meskipun dalam status ditugasbelajarkan, mereka masih dibebani dengan tugas-tugas atau kegiatan-kegiatan rutin, meskipun sedikit. Bahkan meskipun sudah dibebaskan dari tugas-tugas akademik, mereka tidak bisa lepas sama sekali dari kegiatan-kegiatan lain (menjadi panitia kegiatan kampus, ikut proyek penelitian, dan sebagainya). Kondisi ini sering kali sulit dihindari, karena beasiswa yang diterima tidak mencukupi sebagai substitusi pendapatan yang biasanya diperoleh, sehingga mahasiswa terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa memberikan tambahan penghasilan.

Menghadapi situasi tersebut di atas, mahasiswa harus bisa menentukan prioritas. Ia harus bisa melihat peluang, kapan ia harus 100% fokus pada risetnya, kapan ia bisa meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain. Kalau ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan non-riset, sebaiknya mahasiswa memilih yang tidak permanen dan tidak berdurasi lama, sehingga bila suatu saat ia harus fokus ke riset, ia bisa meninggalkan kegiatan itu dengan mudah. Penentuan prioritas ini harus benar-benar dijalankan dengan ketat. Tanpa ini, mahasiswa akan dengan mudah terhanyut dalam kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan risetnya. Sekali fokus ke riset diabaikan, sulit untuk mendapatkannya kembali.