Anak-anak saya sedang senang-senangnya main jejaring sosial. Sesuatu yang wajar dilakukan oleh anak-anak seusianya. Sempat menengok account Twitternya, isinya obrolan tipikal anak-anak sekarang. Secara konten tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi saya punya sedikit concern tentang pengaruh keberadaan mereka di dunia maya secara intensif. Saya agak khawatir eksistensi mereka (dan anak-anak seusia mereka pada umumnya) di dunia maya muncul tanpa arahan yang jelas, dan tanpa proteksi yang memadai pula. Hal ini yang bisa memunculkan bahaya, atau setidaknya kehadiran mereka di jejaring sosial tidak memberi manfaat yang optimal.

Maksud saya begini. Di dunia virtual, interaksi antara dua orang selalu saja dipisahkan oleh “jarak”. Kita sering tidak merasakan, tapi “jarak” itu selalu ada. Kita tidak bisa melihat lawan bercakap kita, kita tidak tahu ekspresi dia, kita tidak bisa menebak reaksi dia dari ucapan kita, dan sebagainya. Hal-hal itu membuktikan bahwa “jarak” itu ada. Nah, “jarak” ini seperti pisau: bisa menjadi alat yang bermanfaat, tapi bisa juga membawa bahaya bagi kita.

Dengan “jarak virtual” ini, seseorang bisa membangun citra yang diinginkannya dalam sebuah jejaring virtual. Profil dan aktivitas-aktivitasnya bisa dirancang dan diarahkan untuk mendukung citra yang diinginkan. Dan citra di dunia virtual ini tidak mesti sama dengan kondisi aslinya di dunia nyata! Poin ini yang menurut saya sangat krusial.

Mengapa krusial? Karena ketidaksamaan citra di dunia maya dan kondisi aslinya bisa diarahkan untuk berbagai tujuan. Kita bisa membangun citra positif terkait dengan profesi kita misalnya. Sekarang orang juga banyak melakukan promosi produk via jejaring sosial. Tapi di sisi lain, properti dunia maya ini juga bisa digunakan untuk tujuan-tujuan negatif: menipu, memfitnah, abuse, dan lain-lainnya.

Kembali ke anak-anak tadi. Kebanyakan dari mereka belum paham tentang hal ini. Mereka muncul di dunia maya secara alamiah, dan kebanyakan mengikuti pola yang ada di lingkungan virtual mereka. Jika lingkungannya sering menggosip dan menggeje, mereka juga akan sering bicara gosip dan random. Sebaliknya jika teman-temannya suka berdiskusi tentang hal-hal yang baik, mereka juga akan ikut (tapi sepertinya lingkungan yang seperti ini jarang muncul di kalangan anak-anak).

Lalu apa efeknya? Ya itu…eksistensi mereka hanya meninggalkan jejak yang random. Tidak jelas. Mungkin interaksi yang remeh-temeh seperti ini juga ada manfaatnya, saya tidak tahu. Saya tidak mampu untuk menyelami lebih dalam kehidupan anak-anak jaman sekarang. Tapi yang saya lihat, sebenarnya sayang jika eksistensi yang sebenarnya bisa dibuat bermanfaat tapi kemudian muncul dengan begitu saja. Just an ordinary someone…

Saran saya, lakukan socnetting secara on purpose. Ada tujuannya, jangan random. Sebenarnya hal ini sudah biasa kita lakukan di dunia nyata, dalam kehidupan keseharian kita. Coba perhatikan, kalau kita pergi ke kampus, pasti untuk belajar kan? Pergi ke kantor juga untuk bekerja. Dunia nyata dan dunia maya itu paralel. Apa yang dilakukan di dunia maya itu sebenarnya copy, paling tidak secara ide/konsep, dari apa yang kita lakukan di dunia nyata. Jadi kalau bersosialisasi di Facebook dan Twitter misalnya, lakukanlah dengan suatu tujuan tertentu. Janganlah mendegradasi kualitas kehidupan dan eksistensi kita di dunia maya, buatlah setidaknya setara dengan eksistensi kita di dunia nyata.

Tentu saja kewajaran itu penting. Kita tidak harus selalu menunjukkan kehadiran yang 100% konsisten. Kadang-kadang off track juga tidak apa-apa, seperti halnya kehidupan di dunia nyata yang juga berwarna-warni. Yang penting pola yang terbentuk itu konsisten. Jika anda menjadi teman saya di Facebook, anda pasti dapat menggambarkan potret/citra eksistensi saya di Facebook, meskipun di sana-sini posting status dan tanggapan saya juga off track dari potret yang ingin saya tunjukkan.

Jaman sekarang itu unik. Kalau dulu, orang cenderung menyimpan perasaannya untuk dirinya sendiri. Makanya orang menulis buku harian (diary). Sekarang, diary mereka adalah jejaring sosial. Apa yang dirasakan langsung diunggahnya, dengan harapan justru agar dibaca oleh publik. Mereka menjadi senang jika postingnya dibaca teman-temannya yang kemudian menanggapinya. Sering kali kita tergoda oleh situasi ini. Kita sedikit-sedikit mengunggah apa yang kita lihat, kita rasakan, dan kita alami. Sayangnya kita tidak memperhatikan apa yang kita unggah. Kadang apa yang kita unggah saling bertentangan. Sekarang ke utara, besok menunjuk ke timur, lain waktu arahnya ke selatan, dan kadang-kadang malah tidak jelas mau kemana (geje). Inilah yang berpotensi membuat potret atau citra kita menjadi kabur dan abstrak. Tidak jelas. Mengapa demikian? Karena ketidakjelasan itulah yang akan ditangkap dan dipersepsi oleh teman-teman virtual kita. Ingat, ada “jarak” di antara kita dan teman-teman tersebut. Jadi saran saya, be wise dalam menulis status atau memberi tanggapan. Keep in mind bahwa tiap artifak komunikasi yang kita lakukan akan membentuk satu titik dalam potret kita. Titik-titik yang tersusun dengan baik akan menghasilkan potret yang indah, demikian pula sebaliknya. You define your own image…

Di atas saya juga bilang, lindungilah eksistensi kita di dunia maya dengan baik. Di jaman Internet ini sangat mudah orang untuk mencari informasi. Sumbernya banyak sekali. Bagi orang yang mampu, informasi detil tentang profil, profesi, sampai ke kegiatan kita akan mudah diperoleh. Kata anak sekarang, meng-kepo itu mudah. Kepo itu pada dasarnya adalah mengamati profil dan pola eksistensi seseorang. Dengan memperhatikan pola dan kebiasaan posting seseorang, mengamati respon dia terhadap komunikasi yang kita lakukan, meng-crosschecknya di beberapa jejaring sosial yang dia ikuti, meng-google informasi-informasi lain tentangnya, dengan mudah kita bisa membuat potret tentang sasaran kepo tersebut.

Jadi kalau kita eksis dengan begitu saja dan tanpa arah, kita akan nampak seperti telanjang. Dan potret yang terbentuk belum tentu sesuai dengan apa yang kita inginkan, apalagi kalau kita sering melakukan aktivitas yang random. Dalam konteks inilah perlindungan itu diperlukan. Ini bukan tentang perlindungan terhadap privasi kita, tapi lebih pada usaha agar eksistensi kita di dunia virtual dapat dipersepsikan orang lain sesuai dengan yang kita inginkan. Sekali lagi, dalam jaman Internet yang serba virtual ini, bagaimana pandangan, pengakuan, dan sikap orang lain akan sangat ditentukan oleh persepsi mereka terhadap kita. Citra menjadi penting, dan pencitraan – dalam konotasi positif – menjadi perlu untuk dilakukan.

Anak-anak sekarang termasuk dalam golongan digital native. Begitu lahir sudah dikelilingi oleh Internet, teknologi, gadget, dan sebagainya. Bagi mereka, dunia virtual sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Tapi mereka belum tentu bisa melihat lekuk-likunya kehidupan maya tersebut. Beda dengan saya dan para digital immigrants lainnya. Kami pernah hidup pada masa Internet dan teknologi belum banyak digunakan. Dunia nyata menjadi satu-satunya dunia kami, dan begitu muncul dunia maya, kami jadi bisa membandingkannya dengan dunia kami dulu. Kami punya perspektif yang lebih kaya dibandingkan kalian para digital native. Jadi dengarkanlah kata-kata kami, para orang tua ini. Sekarang ini memang jaman kalian, dunia kalian. Tapi kami punya sesuatu yang mungkin kalian tidak ketahui, sesuatu yang sebenarnya bermanfaat buat kalian…

Oh ya, yang saya maksud dengan “anak-anak” pada tulisan ini juga mencakup para mahasiswa lho. Kalian juga anak-anak saya 🙂