Pada suatu sore ibu, istri, dan adik saya ngobrol santai sambil mendiskusikan berbagai “kegiatan ibu-ibu”. Obrolan menjadi seru saat menyangkut topik tentang hal-hal kecil yang menjengkelkan. Mengapa menjengkelkan? Karena para ibu tersebut dilibatkan dalam hal-hal kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus minta bantuan mereka. Ternyata saya juga sering mengalami hal yang serupa.

Hal-hal kecil yang saya maksudkan misalnya begini. Saya banyak ditanya mahasiswa,”Apakah bapak punya artikel atau e-book tentang topik X?” Dulu waktu masih sering coding, banyak mahasiswa belajar membuat program, dan begitu programnya tidak berjalan dengan baik langsung datang ke saya lalu bilang,”Pak, program ini salahnya di mana ya?” Atau mahasiswa yang saat konsultasi skripsi atau tesis saya minta untuk mengacu pada panduan penulisan skripsi/tesis lalu menanyakan di mana mereka bisa mendapatkan panduan tersebut.

Hal-hal di atas sebenarnya tidak salah untuk ditanyakan, tapi pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan sikap mau gampangnya saja. Begitu mengalami problem, yang dilakukan adalah langsung melibatkan orang lain untuk membantunya. Bagaimana respon orang yang ditanyai? Biasanya tipikal: mereka akan merasa jengkel. Bukannya tidak mau membantu, tapi orang bisa melihat kurangnya usaha dan kemandirian dari si penanya, dan inilah yang membuat jadi jengkel, apalagi jika pertanyaan itu menyita waktu mereka atau mengganggu pekerjaan mereka.

Dalam contoh di atas, mahasiswa dapat mencari artikel yang diperlukannya dengan mudah via Internet. Sebelum bertanya, si programmer bisa membaca manual, FAQ, atau dokumen-dokumen petunjuk lainnya. Dan sebagai mahasiswa tentunya paham di mana mereka bisa mendapatkan buku panduan penulisan skripsi atau tesis.

Okay, mungkin memang kita perlu menanyakan sesuatu kepada orang lain. Silakan bertanya, tapi bertanyalah secara genuine. Maksud saya, tunjukkan kepada orang lain bahwa kita benar-benar memerlukan bantuan. Kata genuine menunjukkan bahwa kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari jawaban, tapi belum berhasil.

Bagaimana menunjukkan pertanyaan yang genuine? Mudah sebenarnya. Jelaskan saja apa yang telah kita lakukan sebelum sampai pada pertanyaan tersebut. Dengan kita memberikan penjelasan yang cukup, orang yang ditanya bisa menilai seberapa keras usaha kita, dan sekaligus punya data untuk merespons pertanyaan kita. Dalam contoh di atas, jika mahasiswa menjelaskan ke mana saja dia sudah mencari artikel yang diperlukannya, saya mungkin bisa mengarahkan dia ke sumber-sumber yang belum dia coba.

Seberapa jauh kita harus menunjukkan usaha kita? Tergantung persoalan yang dihadapi. Kalau persoalan itu memang menjadi bagian dari aktivitas atau tugas kita, kita perlu menunjukkan usaha yang cukup. Sebaliknya kalau persoalannya merupakan sesuatu yang di luar bidang atau tugas kita, orang lain akan maklum jika kita bertanya tentang hal-hal yang mendasar sekalipun. Tapi janganlah terlalu mempersoalkan tentang seberapa jauh kita harus berusaha. Gunakan common sense saja, karena orang lain akan melihatnya secara common sense juga. Mereka bisa ‘mengukur’ apakah pertanyaan kita cukup genuine atau tidak. Yang jelas, apapun situasinya, orang lain akan menghargai  jika kita menunjukkan usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mencari jawaban atas problem yang dihadapi.

Sebenarnya yang menarik manfaat terbesar dari sikap kemandirian itu adalah kita sendiri. Kita akan terlatih menjadi problem solver. Kita jadi paham tentang proses pencarian solusi, dan pengetahuan tentang how to do ini adalah bekal yang sangat berharga dalam menghadapi situasi-situasi yang mirip pada masa mendatang. Secara citrapun orang lain akan memandang kita sebagai orang yang bisa diandalkan. Kita dianggap bisa menjalankan tugas dengan baik dengan pengarahan minimal dan tidak perlu menyita perhatian, waktu, dan energi orang lain.

Jadi kesimpulannya: bertanya itu baik, tapi bertanyalah dengan genuine dan cerdas. Jangan bikin orang lain menjadi jengkel dengan pertanyaan yang kurang bermutu, dan yang lebih penting lagi, jangan buat diri kita bernilai rendah di mata orang lain.