Dalam dua hari belakangan ini orang banyak memperbincangkan running text di sebuah TV swasta yang menayangkan berita bahwa ITB mengumumkan besaran uang kuliah untuk mahasiswa baru 2013, yaitu sebesar Rp 0 sampai dengan Rp 20 juta per tahun. Kebetulan pula tadi sore kami, pengurus fakultas, rapat untuk kesekian kalinya membahas masalah keuangan. Kalau dihitung sejak Januari kemarin, sudah puluhan kali kami rapat. Mengapa sampai puluhan kali? Karena situasinya begitu kompleks.

Saya cerita dulu tentang apa yang dihadapi oleh semua kampus PTN di Indonesia hari-hari ini. Kami sekarang sedang deg-degan berat karena harus mengumumkan berapa besar biaya pendidikan yang harus dibayar mahasiswa baru tahun 2013 ini. Memangnya apa bedanya dengan tahun lalu? Dan mengapa kami menjadi deg-degan untuk mengumumkan biaya itu?

Semua itu dimulai dari kebijakan Ditjen Dikti yang disebut dengan uang kuliah tunggal (UKT). Dengan sistem UKT, PTN tidak dibolehkan lagi memungut bermacam-macam biaya dari mahasiswa. Mahasiswa baru angkatan 2013 hanya membayar 1 jenis biaya saja tiap semesternya, dan inilah yang disebut dengan UKT.

PTN kemudian diminta menghitung unit cost sebagai dasar penentuan UKT di PT tersebut. Semua komponen biaya, kecuali yang menjadi investasi pemerintah (seperti pembangunan dan pemeliharaan gedung, pengadaan sarana lab, dsb), lalu dihitung untuk mendapatkan unit cost. Mengapa komponen investasi pemerintah dikeluarkan dari perhitungan unit cost? Karena logikanya, PTN adalah “milik” pemerintah sehingga biaya investasinya ditanggung oleh pemerintah.

Setelah unit cost ketemu, barulah UKT dihitung berdasarkan unit cost ini. So far so good. Lalu apa masalahnya?

Sebelum model UKT diberlakukan, PTN (dan PTS juga) biasanya membagi biaya pendidikan menjadi dua komponen: 1) biaya sekali-bayar, dan 2) biaya per semester. Biaya sekali bayar (sebut saja X) biasanya jauh lebih besar daripada biaya per semester (Y). Sebagai ilustrasi, biaya (maksimum) sekali-bayar di Fakultas Teknik UGM adalah Rp 40 juta, dan biaya per semesternya berkisar Rp 2-2,5 juta (tergantung jumlah SKS yang diambil).

Untuk menyederhanakan, anggap saja biaya operasional untuk meluluskan seorang sarjana S1 adalah Z, di mana Z = X + 8Y (asumsinya mahasiswa kuliah selama 8 semester). Menurut hitungan kasar, unit cost per semester adalah Z/8, atau (X/8 + Y), dan angka inilah yang kemudian dijadikan UKT. Sekali lagi, ilustrasi ini hanyalah simplifikasi saja. Poin saya bukan untuk menjelaskan perhitungan unit cost secara akurat, tapi lebih pada efek dari implementasi UKT.

Nah, biaya sebesar (X/8 + Y) inilah yang akan dibayarkan mahasiswa per semesternya.  Dan sistem baru ini akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2013 untuk mahasiswa baru. Mari kita lihat apa efeknya.

Tahun 2012 dan sebelumnya, pada tiap tahun ajaran baru, PTN akan menerima dana sebesar (X + Y) dari mahasiswa baru. Tahun ini, mulai September mendatang, PTN hanya akan menerima (X/8 + Y). Dengan ilustrasi angka: tadinya menerima Rp 42 juta, tapi tahun ini hanya Rp 7 juta! Dalam konteks makro, perhitungan sederhana ini menunjukkan bahwa pendapatan PTN terjun bebas!

Problem ini semakin ruwet ketika pemerintah menetapkan bahwa minimal 20% kursi harus disediakan bagi mahasiswa yang tidak mampu. Pertanyaannya, siapa yang akan menutup kekurangan dana akibat kebijakan ini?

Memang pemerintah telah merancang pendanaan tambahan melalui program-program Bidik Misi (untuk mahasiswa tidak mampu) dan BOPTN (untuk menutup biaya operasional PTN), tetapi kenyataan di lapangan tidaklah seindah yang dibayangkan. Pengalaman tahun lalu, tidak semua permohonan dana BOPTN dikabulkan, dan setelah turun pun hanya diberi waktu sekitar 1 bulan untuk melaksanakan kegiatan. Akhirnya banyak unit kerja yang menyerah dan tidak memanfaatkan dana ini (kalau nekad, bisa-bisa urusannya dengan KPK atau Kejaksaan).

Intinya, ada penurunan pendapatan yang sangat drastis pada tahun 2013 ini, sementara pendapatan dari pemerintah tidak bisa diharapkan mensubstitusi secara maksimal. Dana masyarakat yang bisa digalang hanyalah sekitar 30% – 40% dari tahun lalu. Kondisi inilah yang menyebabkan pengelola PTN bekerja keras mengamankan proses-proses akademik agar tetap berjalan. Kegiatan belajar-mengajar tidak boleh terganggu, at all cost. Kegiatan pelayanan akademik juga harus berjalan terus. Demikian juga kegiatan-kegiatan Tridarma seperti penelitian/publikasi dan pengabdian pada masyarakat. Kepusingan kami muncul saat harus menetapkan item-item kegiatan mana yang harus dicoret dari daftar anggaran.

Keadaan ini diperparah dengan kondisi psikologis masyarakat yang sedang menanti pengumuman tentang UKT. Pemerintah berpikiran bahwa sistem yang baru akan membuat pendidikan tinggi menjadi lebih terjangkau. Pesan ini diterima masyarakat bahwa biaya pendidikan tinggi tidak lagi mahal. Kenyataannya sistem UKT hanya mendistribusikan beban saja. Pernyataan yang muncul adalah: “biaya pendidikan sebesar Rp 7 juta per semester”. Bandingkan dengan: “sumbangan awal Rp 40 juta, biaya pendidikan Rp 2 juta per semester”. Jika tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang seputar biaya pendidikan, masyarakat justru bisa terperanjat kaget saat mengetahui kenaikan biaya sebesar Rp 5 juta per semester. Secara psikologis, biaya awal sering tidak dianggap sebagai biaya pendidikan, dan logika masyarakat sering kali berbeda dengan logika para pengelola PTN.

Dan menjadi tugas PTN untuk mengumumkan, mensosialisasikan, dan menjelaskan kepada masyarakat tentang “kenaikan” tersebut. Bayangkan kesulitan yang dihadapi PTN: masyarakat sudah terlanjur berharap ada penurunan biaya pendidikan, tapi kenyataannya malah “meningkat”. Secara riil, biaya pendidikan tidak bertambah, bahkan bisa lebih rendah dibandingkan sebelumnya karena berbagai intervensi pemerintah, tetapi persepsi masyarakat tentu punya logika yang berbeda. Dalam pikiran masyarakat, “biaya Rp 7 juta” tentulah lebih mahal daripada “biaya Rp 2 juta”. Bahwa ada beasiswa dan berbagai keringanan lain, itu pasti muncul di urutan nomor sekian.

Jadi yang membuat PTN galau saat ini adalah munculnya kombinasi yang mematikan: bagaimana mengatasi kondisi fiskal yang sangat mepet, dan pada saat yang sama harus menjelaskan tentang “kenaikan semu” biaya pendidikan kepada masyarakat. Secara persepsional masyarakat pasti akan mengira PTN kebanjiran uang, tetapi pada kenyataannya penerimaan tahun 2013 ini hanya sekitar sepertiga dari tahun lalu.

Inilah tujuan saya menulis catatan kali ini. Saya berharap penjelasan yang sederhana di atas dapat memberikan gambaran tentang situasi yang sebenarnya. Sebenarnya masih ada beberapa faktor lain yang menambah kompleksitas tugas pengelola PTN, UGM khususnya, seperti perubahan status dari PT BHMN yang “direduksi” menjadi BLU, sampai ke berita terkini yang menyebutkan bahwa lebih dari 80% anggaran Kemendikbud di-pending dan belum dapat dicairkan oleh Kemenkeu. Saya sengaja tidak menceritakan tentang ini agar tulisan ini bisa fokus.

Kami tidak mengeluh. Kami tetap berusaha keras agar proses-proses dan pelayanan akademik tetap berjalan seperti biasanya. Bagaimanapun juga, pendidikan sumber daya manusia Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan hanya demi perubahan-perubahan kebijakan yang short-sighted seperti UKT, perubahan status ke BLU, dan sebagainya. Misi dasar untuk mendidik bangsa tidak akan kalah oleh keputusan-keputusan berbau politis yang tidak jelas.