Baru-baru ini dosen di Indonesia dihebohkan oleh instruksi dari Ditendik, Dikti untuk mengisi form online Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Kalau mendengar dan membaca komentar para dosen, kehebohan ini disebabkan karena persoalan-persoalan yang menyangkut 3 perkara: 1) kebijakan Dikti, 2) aplikasi SIPKD, dan 3) implementasi SIPKD.

Mari kita lihat satu persatu.

Instruksi Dikti kepada semua dosen yang sudah ber-NIDN untuk mengisi SIPKD sekali lagi  menunjukkan niat Dikti untuk mengontrol semua aspek manajemen pendidikan tinggi di Indonesia, bahkan sampai ke hal-hal terkecil sekalipun. Dulu ada EPSBED yang kemudian berubah menjadi PDPT yang berhasrat merekam data akademik sampai ke program-program studi. Tahun kemarin ada program pemutakhiran data dosen, dan tahun ini muncul SIPKD. Besok entah ada apa lagi. Intinya, Dikti ingin mengurusi semuanya.

Pertanyaan saya sederhana: perlukah itu? Saya tidak tahu apa alasan Dikti mencoba menanamkan grip kontrol yang kuat terhadap pelaksanaan kegiatan akademik. Mungkin Dikti ingin melindungi kepentingan masyarakat dari praktek-praktek yang tidak baik (karena memang ada kejadian seperti itu). Mungkin Dikti ingin transparan, mereka ingin bisa menjawab dengan baik jika ditanya oleh masyarakat tentang serba-serbi pendidikan tinggi di Indonesia. Jika demikian halnya, itu memang niat yang mulia, tetapi tidak bisakah dicari cara lain yang lebih baik?

Saya jadi teringat kerangka pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang (KPPTJP) Indonesia periode 2003-2010. Di dalam kerangka pengembangan tersebut, salah satu strategi yang digunakan adalah pemberian otonomi yang lebih besar bagi perguruan tinggi dalam menjalankan kehidupannya. Otonomi ini penting karena perguruan tinggi mengemban misi pengembangan SDM dan keilmuan. Pengembangan SDM dan keilmuan adalah perjalanan eksploratif dalam ranah intelektual. Kita berurusan dengan mahasiswa sebagai obyek yang akan dibentuk, bukan hanya kompetensi intelektualnya tapi juga karakternya. Kita juga harus melakukan penelitian dan pengembangan di area-area keilmuan yang belum banyak dijelajahi. Semua itu memerlukan cara pandang dan pendekatan yang terukur dan spesifik, disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi perguruan tinggi. Pengakuan terhadap kekhasan perguruan tinggi inilah yang kemudian membuat Dikti menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator, dan secara bertahap menyerahkan urusan pengelolaan pendidikan tinggi ke perguruan tinggi, sesuai dengan kemampuannya. Sayangnya cara pandang itu telah berubah, dan Dikti lebih banyak memainkan peran sebagai pengontrol daripada fasilitator.

Kembali ke masalah SIPKD, tidak bisakah Dikti menyerahkan urusan pembinaan karir dosen ke perguruan tinggi? Dosen adalah aset perguruan tinggi, sehingga menjadi hal yang wajar jika manajemen dan pembinaannya dilakukan oleh perguruan tinggi yang menaunginya. Sebenarnya dengan kerangka otonomi, baik perguruan tinggi maupun Dikti sama-sama dimudahkan. Perguruan tinggi merasa nyaman karena memiliki otoritas penuh, dan Dikti juga tidak terbebani oleh masalah-masalah teknis dan detil, sehingga bisa berkonsentrasi pada pengembangan regulasi dan kebijakan yang lebih strategis. Urusan kenaikan pangkat/jabatan, biarlah perguruan tinggi yang menanganinya, paling tidak sampai jenjang tertentu. Kalau Dikti memerlukan data, mintalah saja pada perguruan tinggi, tidak usah berambisi mengumpulkan data sendiri. Dikti cukup menentukan data apa saja yang harus disediakan, dalam format seperti apa, dan kapan harus tersedia. Biarlah perguruan tinggi yang mengurus pengumpulan dan penyimpanannya.

Hal yang sama juga berlaku untuk PDPT, Simlitabmas, dan program-program lain yang arahnya memusatkan pengelolaan data di Dikti.

Jika perguruan tinggi dianggap belum mampu diberi otonomi, maka menjadi tugas Dikti untuk memberdayakannya. Dikti dapat menyelenggarakan program-program hibah untuk penguatan kelembagaan perguruan tinggi, seperti yang dilakukan beberapa tahun yang lalu. By design sebenarnya program-program hibah itu bertujuan baik, jika ada yang tidak tepat sasaran, implementasinyalah yang harus diperbaiki.

Problem kedua adalah aplikasi SIPKD itu sendiri.

Secara desain, aplikasi SIPKD tidak didesain secara baik. Sebenarnya ada beberapa kelemahan yang teramati, tetapi saya hanya akan menyampaikan dua hal yang sangat fatal. Pertama, SIPKD disampaikan ke dosen dengan username dan password default, berupa NIDN. Ini adalah hal yang amat sangat fatal. Password itu sesuatu yang sangat personal, sehingga tidak boleh disebarkan secara terbuka. NIDN itu informasi publik, dan jika digunakan sebagai password, dapatkah data kita dikatakan aman?

Mungkin admin SIPKD merasa kesulitan untuk membuat password yang unik untuk masing-masing dosen dan menyampaikannya secara rahasia ke tiap dosen, sehingga akhirnya diambillah jalan yang mudah ini. Jika demikian halnya, maka saya pertanyakan kembali: mengapa harus Dikti yang melakukan pengumpulan data ini? Mengapa tidak diserahkan saja ke perguruan tinggi masing-masing?

Mungkin admin SIPKD berpikir, toh di dalam sistem ada menu untuk mengganti password. Pertanyaan saya: berapa banyak dosen yang dengan segera mengganti passwordnya? Selama saya menulis artikel ini, saya iseng mengakses SIPKD dengan beberapa NIDN yang random, dan saya bisa masuk ke account-account dosen lain. Kalau mau, saya bisa saja mengubah, menambah, atau menghapus data di account tersebut.

Well…kalaupun datanya rusak atau hilang, toh bisa saja diisi ulang dan diunggah lagi. Nah, jika ada pemahaman seperti ini yang muncul, apalagi jika yang bilang seperti itu adalah admin SIPKD, jangan harap SIPKD akan sukses. Jika tidak ada kesadaran tentang keamanan data, maka data yang ada dalam SIPKD tidak akan dipercaya. Yang berbahaya adalah konsekuensinya: bagaimana kemudian SIPKD akan dijadikan dasar untuk evaluasi kinerja dosen dan pemrosesan kenaikan pangkat/jabatan jika datanya tidak dipercaya?

Kesalahan fatal kedua adalah tidak adanya verifikasi data dalam SIPKD. Dalam form-form isian SIPKD tidak ditemui adanya verifikasi terhadap apa yang diisikan oleh dosen. Demikian pula dengan form-form unggahan dokumen. Apapun yang saya isikan dan saya unggah akan diterima oleh sistem dan dimasukkan ke dalam basis data. Isian saya kosongkan, atau saya mengunggah sembarang file juga akan diterima sistem. Herannya, meskipun isian data saya tidak lengkap atau keliru, saya masih bisa mendapatkan predikat ‘M’ alias memenuhi syarat. Amazing!

Apa kira-kira konsekuensi dari situasi tersebut? Berhubung instruksi Dikti selalu disertai dengan ancaman (tunjangan serdos diputus, tidak bisa memroses kenaikan jabatan, dsb), maka dosen-dosen pada akhirnya akan mengisi SIPKD (entah dengan sukarela atau terpaksa). Yang perlu disadari (terutama oleh pengembang aplikasi SIPKD) adalah bahwa tidak semua dosen bersemangat mengisi dan/atau memiliki berkas yang lengkap. Bisa saja dosen mengisinya asal-asalan, tidak lengkap, atau mengunggah berkas yang keliru. Saya memang tidak punya data valid tentang hal ini, tetapi sampling sederhana di lingkungan sekitar saya menunjukkan kecenderungan tersebut. Lantas apa yang terjadi dengan basis data SIPKD? Sebagian akan berisi sampah. Dan kita bisa membayangkan data sampah digunakan untuk dasar pengambilan keputusan. Pastilah mengerikan hasilnya.

Dikti mungkin akan “memaksa” para dosen untuk mau mengisi dengan benar dan lengkap, dan meletakkan tanggungjawab dan konsekuensi sepenuhnya pada dosen. Resiko ditanggung dosen sendiri jika isiannya keliru atau tidak lengkap. Jika hal ini terjadi, saya membayangkan akan terjadi chaos yang luar biasa karena banyak dosen yang tidak siap untuk mengisi apa yang diminta dalam SIPKD. Berapa banyak di antara mereka yang menyimpan SK-SK penugasan? Berapa banyak yang punya bukti-bukti kegiatan yang harus diunggah? Tunjangan serdos yang akan terputus, kenaikan jabatan yang tertunda, jumlah protes dan keluhan yang meroket, dan berbagai ketidakberesan lainnya pasti akan muncul. Jika skala chaosnya cukup masif, saya khawatir Dikti tidak bisa menanganinya dengan baik dan ini akan menjadi backfire bagi Dikti.

Sekali lagi, kalau menurut saya, daripada Dikti berurusan langsung dengan dosen, mengapa tidak meminta perguruan tinggi saja yang menanganinya? Jelas lebih ringan dan mudah.

Problem ketiga dari SIPKD terkait dengan implementasinya.

Banyak dosen bilang jika menjelang deadline yang terdahulu, aplikasi SIPKD tidak bisa diakses. Berarti kemungkinan besar ada masalah di backend (sisi server). Seharusnya Dikti paham bahwa sebelum aplikasi tersebut diluncurkan, server (hardware dan softwarenya) dan infrastruktur pendukungnya harus disiapkan dengan baik.

Jika saya mengamati perbincangan di kalangan dosen hari-hari belakangan ini, banyak di antara mereka yang bingung dengan pengisian SIPKD. Banyak masalah yang ditanyakan, tetapi herannya tidak ada saluran resmi dari Dikti yang merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut. Memang Dikti sudah melakukan sosialisasi kepada para wakil perguruan tinggi, tetapi para wakil tersebut juga tidak bisa menjawab semua pertanyaan dari para dosen. Akan lebih baik jika Dikti membuat FAQ dan jawaban-jawabannya. Ada baiknya ada help desk online, sehingga dosen bisa menyampaikan keluhan dan mendapatkan jawaban langsung dari Dikti.

Repot? Jelas. Bagaimana supaya tidak repot? Mudah. Kembalikan urusan ini ke perguruan tinggi. Masa Dikti harus direpotkan dengan urusan detil macam begini?… 🙂

Terakhir, cara Dikti dalam memberikan instruksi yang selalu disertai dengan ancaman  rasanya kurang elegan. Ancaman itu biasanya diberikan pada orang-orang yang tidak menurut (pembangkang). Banyak dosen yang sebenarnya mau memenuhi instruksi Dikti, hanya saja mereka memerlukan bantuan untuk dapat menjalankannya dengan baik. Yang mereka perlukan adalah dukungan dan bantuan, bukan ancaman.

Sebagai penutup, saya juga mendengar beberapa ungkapan sarkastis tentang SIPKD. Katanya SIPKD ini, seperti juga beberapa program sebelumnya, lebih berorientasi proyek. Fire-and-forget, dibuat-lalu-lupakan. Saya biasanya tidak tertarik menanggapi ungkapan sinis seperti itu, tapi kali ini, jika SIPKD dijalankan dengan cara seperti sekarang ini, hati kecil saya menyetujui ekspresi sinis itu. Biarlah SIPKD yang sekarang ini hilang terbawa waktu. Tapi kemudian saya menyusulinya dengan doa: semoga Dikti bisa lebih bijaksana dalam menjalankan perannya, dan menyempurnakan sistem SIPKD dan implementasinya sehingga SIPKD tidak menjadi Sistem Informasi Penyebab Keresahan Dosen.