Hari-hari ini saya sedang menemani seorang mahasiswa yg sedang berjuang menyelesaikan studinya. Waktunya tidak banyak lagi, sementara masih cukup banyak yg harus dia kerjakan. Dalam seminggu kami bisa 2-3x berzoom-ria, tapi jelas terlihat sekali kegalauannya ketika kami berdiskusi. Saya tak hendak bercerita tentang perjuangannya dan apa yang saya lakukan untuknya. Saya ingin berkisah tentang kegelisahan saya — yang selalu muncul ketika seorang mahasiswa terdesak oleh waktu.
Dalam situasi terpepet waktu, dapat dipastikan seorang mahasiswa tidak akan bisa memenuhi standar ideal saya terkait skripsi, tesis, atau disertasi. Ya, standar ideal saya memang tinggi. Di sinilah perang batin muncul: antara tetap memegang idealisme dengan melihat realitas. Dorongan idealisme sebenarnya cukup besar, semacam “ayolah, tetaplah berjuang…kamu bisa mencapai apa yang saya harapkan”. Tapi ketika saya melihat wajah-wajah galau tadi, seketika itu pupuslah keinginan ideal tadi. Yang saya lihat bukan hanya wajah si mahasiswa. Nampak juga wajah orang tuanya, istrinya, anak-anaknya, kolega di tempat kerjanya, dan orang-orang lain yang dekat dengannya.
Lalu apakah saya menurunkan standar ideal saya? Tentu saja. Sepanjang masih dapat memenuhi standar minimum obyektif yang dapat diterima, saya bersedia untuk menghapus harapan ideal saya. Ketika saya hanya berfokus pada idealisme, maka yang nampak hanyalah ego saya sendiri. Kepuasan diri. Peduli amat dengan mahasiswa.
Situasi berubah drastis ketika saya alihkan pandangan saya ke mahasiswa. Di sana saya melihat ayah ibu yang sangat berharap anaknya lulus. Nampak oleh saya, istri dan anak-anak yang hidupnya akan lebih baik karena karir si ayah akan menanjak setelah ia lulus. Saya juga menerawang ke mahasiswa yang akan mendapatkan ilmu yang lebih banyak jika dosennya bisa menyelesaikan studinya. Saya melihat pihak-pihak yang akan mendapatkan manfaat dari mahasiswa ini ketika dia berhasil lulus. Tentu ini jauh lebih berharga daripada memuaskan ego saya tadi.
Perang batin tidak berhenti sampai di sini. Masih saja terdengar bisikan, “jika kamu menurunkan standarmu, bagaimana dengan reputasimu?”. Atau semacam “Kamu pernah mendapatkan penghargaan terkait tulisan-tulisan ilmiahmu, apa kata orang bila tulisan bimbinganmu di bawah standarmu?”. Alhamdulillah bisikan-bisikan itu kalah dengan bisikan lain yang lebih jernih, “Jangan khawatir, kamu akan diurus dengan lebih baik lagi”. Setelah itu, pandangan idealisme itu berganti dengan pandangan lain yang lebih luas: membentuk bibit-bibit rahmat untuk alam.
Lalu apakah saya lepaskan dia begitu saja dalam sisa masa studinya? Tidak juga. “Genggaman” saya tidak mengendor, requirements saya tetap tinggi. Naskah yang ruwet ya tetap dikembalikan penuh dengan coretan koreksi. Permintaan saya masih banyak, dan saya masih tetap mendorong mahasiswa untuk memenuhinya. Bedanya, sekarang tuntutan tinggi itu bukan untuk memenuhi idealisme saya, tapi lebih untuk membentuk karakter. Tiada sukses tanpa kerja serius. Keberhasilan adalah buah dari daya juang dan keuletan. Kesabaran selalu akan bisa melewati rintangan, dan banyak lagi nilai kehidupan yang dapat dipetik. Kadang saya juga menyelipkan pelajaran bagi mahasiswa semacam “jika kamu menyepelekan sesuatu di awal, maka kamu akan meraskan akibatnya di kemudian hari”.
Saya percaya bahwa mempelajari, memahami, dan memraktekkan nilai dan pelajaran seperti di atas justru lebih penting daripada memaksakan ketercapaian standar akademik yang ideal. Dan dengan nilai dan karakter seperti inilah mahasiswa dapat membahagiakan orang tuanya, menghidupi keluarganya dengan layak, atau mengajar mahasiswanya dengan baik. Dengan semua itulah para mahasiswa kelak dapat menebarkan sinar kebaikan dan memberikan manfaat bagi lingkungannya.
Saya tidak mengatakan bahwa capaian akademik yang tinggi itu tidak penting. Peran mahasiswa yang bisa mencapai ini sudah jelas: mereka akan bersinar di panggung akademik. Saya hanya ingin mengatakan, tidak semua mahasiswa bisa mencapai hall of fame secara akademik, namun masih tersedia ruang yang luas bagi mereka untuk bisa menjalankan misinya menjadi rahmat bagi sekelilingnya. Untuk itu, mereka perlu bekal yang berbeda, dan seharusnya pendidikan bisa memberikan bekal semacam itu.
Pendidikan yang membentuk karakter. Kalau menurut pengalaman saya, ini hanya bisa terwujud melalui relasi yang harmonis antara mahasiswa dengan lingkungan belajarnya (terutama dengan guru/dosennya) di mana mereka bisa belajar melalui contoh, teladan, dan pengalaman yang bisa mereka refleksikan ke dalam diri sendiri.
Sungguh bahagia ketika tiga hari yang lalu DTETI UGM meluncurkan twibbon campaign tentang integritas dan kejujuran sebagai bagian dari karakter yang ingin dibangun. Semoga campaign ini bisa menjadi langkah awal bagi perubahan-perubahan besar di masa yang akan datang.
Selamat ulang tahun kampusku…
Dalam masa wfh sekarang ini, saya mencoba membuat video-video singkat, beberapa di antaranya membicarakan tentang akreditasi BAN-PT dengan instrumen baru. Untuk memudahkan pemirsa dalam menonton, saya kumpulkan koleksi video ini dalam sebuah playlist yang bisa diakses melalui URL ini:
https://www.youtube.com/playlist?list=PLtJn4Ik5V6WZwc-40_HcXkCoQfHnQKSkB
Playlist ini akan terus berkembang, video-video berikutnya tentang akreditasi BAN-PT akan saya masukkan ke dalamnya.
Isi video-video ini bukan merupakan pandangan resmi BAN-PT, semua merupakan pendapat saya berdasarkan pemahaman dan interpretasi saya terhadap berbagai sumber informasi, serta pengalaman saya dalam proses akreditasi BAN-PT selama ini.
Selamat menikmati.
Sejak diumumkan oleh Mendikbud akhir bulan Januari yang lalu, inisiatif Kampus Merdeka telah memunculkan beberapa bibit perubahan. Beberapa kampus sudah memberikan penjelasan tentang bagaimana mereka merespon kebijakan baru tersebut. Hampir semua respon tersebut membicarakan tentang bagaimana mereka memfasilitasi kebebasan bagi mahasiswa untuk belajar di luar prodi dan di luar perguruan tingginya melalui program magang, kuliah online, dan sebagainya. Dengan rancangan respon semacam itu, dapatkah kemerdekaan belajar bagi mahasiswa mencapai tujuannya, yaitu memberikan bekal yang lebih baik bagi mahasiswa dalam menghadapi masa depannya?
Kata “kemerdekaan” menunjukkan semangat untuk membebaskan. Ada visi besar dan motivasi kuat di dalam ide tersebut. Karena itu, kemerdekaan belajar dalam kebijakan Kampus Merdeka tidak bisa dimaknai pada tataran operasional saja, tetapi harus menyentuh tataran nilai dan konsep yang lebih fundamental. Selain itu, kemerdekaan belajar tidaklah berdiri di ruang kosong, ia mengait dengan elemen-elemen pembelajaran yang lain. Keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh koherensinya dalam sebuah sistem pendidikan tinggi yang memiliki akar yang kuat.
Sebagai sebuah nilai, kemerdekaan merupakan hak dasar yang melekat pada tiap individu, termasuk mahasiswa. Meskipun demikian, sesuai dengan tata nilai yang dianut secara universal, kemerdekaan selalu ditempatkan dalam kerangka harmonisasi: ke dalam mencerminkan keutuhan, keluar menunjukkan keselarasan. Kemerdekaan belajar yang diusung Kampus Merdekapun seharusnya memiliki karakteristik ini: memiliki integritas yang terinternalisasi secara konsisten, dan semangat menyelaraskan semua elemen yang terlibat.
Untuk bisa direalisasikan, nilai harus diterjemahkan menjadi konsep. Dalam konsep, mulai muncul entitas-entitas yang saling terkait. Sebagai konsep tentang metode belajar, kemerdekaan belajar sangat terkait dengan tiga elemen lainnya: kurikulum, SDM (dosen), dan lingkungan pembelajaran. Keempatnya saling terkait, jika satu titik ditarik, yang lain akan mengikuti. Ketika metode belajar konvensional didisrupsi untuk mewujudkan semangat membebaskan, mau tidak mau kurikulum, pengelolaan SDM, dan lingkungan pembelajaran harus disesuaikan dengan semangat yang sama. Konsep kebebasan untuk memilih cara belajar perlu didukung oleh konsep-konsep inovatif dalam penyusunan kurikulum, pengelolaan dosen, dan pembentukan lingkungan pembelajaran.
Kurikulum adalah kerangka sistem pembelajaran yang dijalankan oleh sebuah program studi. Sebagai sebuah rumusan metode belajar, konsep “merdeka belajar” seharusnya tunduk pada kerangka kurikulum. Sayangnya konsep baru tentang cara belajar ini bergeser secara radikal sehingga kerangka yang ada tidak lagi mampu menaunginya dengan baik. Ini terlihat ketika definisi capaian pembelajaran dalam kurikulum program studi (student outcome) yang pada umumnya disusun berdasarkan cara pandang yang linear dan homogen tidak mencakup perluasan wawasan dan terakuisisinya ketrampilan-ketrampilan hidup (life skills) yang merupakan dampak dari kebebasan belajar. Ketika student outcome berubah, maka keseluruhan kurikulum harus ditinjau ulang. Pengabaian terhadap hal ini akan mengakibatkan kemerdekaan belajar bagi mahasiswa tidak memiliki akar yang kuat karena tidak ditopang oleh kerangka yang efektif.
Terkait SDM, perlu kehati-hatian ketika konsep kemerdekaan belajar mahasiswa dihadapkan kepada dosen, karena konsekuensinya bisa jadi malah membuat dosen bertambah bebannya. Dosen akan mengajar lebih banyak mahasiswa, menghadapi mahasiswa yang sangat heterogen, dan harus belajar teknologi baru (untuk kuliah-kuliah online), sementara beban-beban reguler lainnya tidak berkurang. Kemerdekaan di sisi mahasiswa harus disandingkan dengan kemerdekaan di sisi dosen agar prinsip harmoni terpenuhi dan tujuannya tercapai.
Elemen lingkungan pembelajaran sangat menentukan apakah kemerdekaan akan berkembang dengan baik atau tidak. Kemerdekaan memerlukan fleksibilitas dan kemudahan dalam bergerak secara dinamis. Untuk mendukung ini, lingkungan pembelajaran perlu merilekskan batas-batasnya untuk memberikan lebih banyak keluwesan sekaligus melancarkan aliran-aliran aktivitas yang melibatkan seluruh komponen sistem pendidikan tinggi. Integrasi dan kolaborasi harus menjadi warna dominan dalam pengembangan lingkungan belajar yang kondusif.
Ketika semua konsep di atas akan diimplementasikan pada tataran operasional, diperlukan perubahan yang masif dan kompleks pada aspek-aspek regulasi, tatakelola, maupun prosedur kerja di semua lini di perguruan tinggi. Dapat dikatakan ini merupakan restrukturisasi perguruan tinggi yang cukup mendasar, bukan sekedar program yang bersifat ad-hoc dan superfisial. Penawaran matakuliah online, peluang magang di industri, dan inisiatif-inisiatif lain yang sering diklaim sebagai respon terhadap kebijakan Kampus Merdeka seharusnya dianggap sebagai puncak gunung es. Program-program inovatif semacam itu adalah muara dari perubahan-perubahan sistemik yang dilakukan pada berbagai aspek yang terkait. Jika program-program tersebut muncul begitu saja tanpa disertai dengan perubahan secara holistik, maka dikhawatirkan kemerdekaan belajar yang ditawarkan harus dibayar mahal dalam bentuk inkompetensi mahasiswa, ketidakbahagiaan dosen, mutu proses pembelajaran yang diragukan, administrasi pendidikan yang kacau, atau berbagai masalah lainnya.
Dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Tinggi Tersembunyi”, Prof Sulistyowati Irianto menyampaikan beberapa problem struktural yang menyebabkan institusi perguruan tinggi di Indonesia sulit berkembang (Kompas, 23 Nov 2019). Kemalangan perguruan tinggi (PT) masih ditambah dengan fakta yang akhir-akhir ini banyak bermunculan: ternyata banyak PT kita yang gagap ketika diminta untuk menceritakan pandangannya terhadap posisinya, arah dan tujuan pengembangannya, strategi pencapaian tujuannya, dan bagaimana mereka menjamin keberhasilan upaya-upaya pencapaian tujuan tersebut.
Fakta ini muncul dengan jelas ketika Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) meluncurkan instrumen akreditasi yang baru. Instrumen baru ini menekankan pada kemampuan mengevaluasi diri institusi PT dan program-program studi di dalamnya. Dari interaksi dengan cukup banyak pengelola PT, hampir semuanya mengeluhkan hal yang sama: kesulitan untuk menyusun Laporan Evaluasi Diri, dokumen yang menjelaskan pandangan PT terhadap kondisi diri dan rencana pengembangannya. Problem yang dihadapi seragam: kesulitan untuk menemukenali berbagai potensi, peluang, kekuatan, ancaman, dan kelemahan; menggunakan semua itu sebagai dasar perencanaan pengembangan; dan merumuskan strategi penjaminan mutu untuk memastikan program-program pengembangan berjalan dengan baik.
Fakta ini menunjukkan masalah yang serius: bahwa ternyata PT kita lemah dalam pengembangan institusi secara berkelanjutan. Pengembangan institusi tidak dilakukan berdasarkan perencanaan berbasis evaluasi diri. PT memang memiliki dokumen Rencana Strategis (Renstra), tetapi dalam banyak kasus, Renstra tersebut hanyalah sekedar dokumen. Tujuan, sasaran, dan indikator di dalamnya tidak disusun berdasarkan proses temukenali diri yang jernih dan obyektif, tidak pula digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan program-program pengembangannya. Pada akhirnya banyak program dan kegiatan yang muncul sebagai respon impulsif terhadap berbagai rangsangan atau tekanan yang terjadi di sekitar PT. Pengembangan diri yang bersifat reaktif tentu saja berpotensi tidak sesuai dengan jati dirinya. PT memang akan tumbuh, tetapi arahnya tidak dijamin menuju ke optimalisasi relevansi dari eksistensinya. Produksi lulusannya banyak, tapi banyak yang menganggur. Penelitian menumpuk, tetapi tidak menjawab kebutuhan industri dan masyarakat. Kata Benjamin Franklin, “If you fail to plan, you are planning to fail”. PT yang kehilangan relevansinya tinggal menunggu waktu untuk hilang dari peredaran.
Fenomena di atas berakar dari ketidakmampuan PT membaca dirinya sendiri. Kesadaran terhadap diri sendiri lemah karena PT selalu dikondisikan untuk melihat keluar dirinya sendiri (outward-looking). Salah satu penyebabnya adalah kondisi overregulated yang dialami oleh PT. Semuanya serba diatur dan diseragamkan. Ibarat anak kecil, PT selalu dipaksa untuk mengikuti kata orang tuanya, sedikit sekali diberi kebebasan untuk berkembang sesuai dengan kondisi alamiahnya. Lebih parahnya lagi, diciptakanlah kondisi kompetitif di antara PT. Secara naluriah, berbagai pemeringkatan yang disodorkan ke PT semakin membuat mereka terasing dari jati dirinya. Fokus mereka terpaku pada meraih peringkat setinggi-tingginya tanpa peduli apakah yang dikompetisikan itu cocok bagi mereka. Ketika instrumen akreditasi baru menyapa mereka dan menanyakan,”Bagaimana engkau melihat dirimu sendiri dan membuat rencana pengembangan yang paling bersesuaian dengan kondisimu tersebut?”, bingunglah PT-PT tersebut.
Bagaimana membuat PT sadar terhadap dirinya sendiri? Strategi yang paling mendasar tentulah dengan memberikan lebih banyak kebebasan bagi mereka. Lingkungan eksternal harus memberikan ruang yang cukup luas bagi PT untuk membangun identitas dan menentukan arah serta fokus pengembangan secara independen. Kondisi overregulated harus dihilangkan, dan tidak semuanya harus diseragamkan. Tidak semua PT harus mempublikasikan artikel terindeks Scopus sebanyak-banyaknya. Inisiatif untuk mengembangkan dan memraktekkan keilmuan berbasis kearifan lokal juga tidak kalah pentingnya. Di negara-negara maju, teaching universities tidak kalah mentereng dibandingkan research universities. Tentu saja tetap perlu ada standarisasi kualitas dan kerangka regulasi yang berfungsi sebagai platform dasar bagi aktualisasi diri tiap PT, tetapi di atas platform tersebut, kebebasan untuk menentukan arah pengembangan harus diberi ruang untuk berkembang.
Proses penyadaran diri akan lebih mudah dijalankan ketika PT diberi kesempatan untuk berkontemplasi. Kontemplasi bagi institusi berarti membiarkannya mengembangkan diskursus-diskursus internal bertemakan pengenalan diri dalam suasana tanpa intervensi ide, konsep, atau pemikiran dari luar. PT jangan banyak diganggu oleh keriuhan yang muncul akibat kebijakan yang berubah-ubah atau yang distracting dari tugas pokoknya. “Keheningan” akibat isolasi pengaruh eksternal, dikombinasikan dengan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik yang berlandaskan kejujuran dan obyektivitas, dapat menjadi pembuka tabir penghalang PT dengan kesejatian dirinya.
Membebaskan PT untuk menentukan arah pengembangan sesuai dengan jati dirinya dapat memberikan dampak strategis. Pertama, rasa kemerdekaan yang timbul pada tiap PT akan memunculkan kepercayaan diri yang besar. Ini menjadi modal penting bagi PT untuk melakukan hal-hal yang besar pula. Kedua, pengembangan keilmuan dan penerapannya akan lebih beragam karena keunggulan PT dapat diarahkan ke berbagai bidang yang diperlukan oleh masyarakat. Kebebasan adalah adalah salah satu hak asasi manusia. Kampus-kampus kitapun memerlukannya untuk menapak ke tingkat yang lebih tinggi.
Beberapa waktu belakangan ini Kemristekdikti menggencarkan rencana untuk mengijinkan perguruan tinggi asing (PTA) masuk ke Indonesia. Yang terakhir, dalam pertemuan PTN-bh di Surabaya tanggal 4 April 2018 yang lalu, keinginan itu disampaikan kembali secara lebih eksplisit dalam bentuk presentasi Menristekdikti. Dalam presentasi tersebut disebutkan bahwa tujuan pemberian ijin PTA untuk beroperasi di Indonesia adalah: 1) menjadikannya benchmark bagi PT di Indonesia (PTI) dalam upaya peningkatan kualitas, 2) menghemat biaya pendidikan dan mengurangi aliran devisa ke LN, 3) mengembangkan SDM Indonesia pada bidang-bidang khusus, terutama bidang STEM, dan 4) meningkatkan kesempatan penelitian, publikasi, dan inovasi melalui fasilitas dan sumberdaya yang memadai. PTA diijinkan beroperasi dalam bentuk PTS yang memiliki badan penyelenggara tersendiri, berlokasi di daerah-daerah yang khusus ditetapkan untuk itu (Kawasan Ekonomi Khusus – KEK), dan hanya PTA yang berkualitas saja yang akan diberi ijin.
Menjadi menarik untuk dianalisis, apakah kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya dan siapa yang merasakan dampak paling besar dari kebijakan tersebut, mengingat baru kali ini pemerintah membuka keran ijin liberalisasi di bidang pendidikan. Apakah hasilnya efektif akan meningkatkan penelitian, publikasi, dan inovasi secara sistemik, atau dampak negatifnya yang justru lebih banyak?
Efektivitas Kebijakan
Terkait dengan syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah dan tujuan menjadi benchmark bagi PTI, maka rasanya setting yang paling memungkinkan adalah menetapkan KEK di lokasi-lokasi tempat domisili PTI yang unggul. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya menjadi kandidat utama lokasi PTA karena di kota-kota tersebut terdapat PTI-PTI terbaik di Indonesia. Tidak ada gunanya menempatkan PTA di kota-kota yang belum memiliki akar tradisi pendidikan tinggi yang kuat, karena fungsi benchmark menjadi terlalu berlebihan (overkill): gap antara PTI lokal dengan PTA akan terlalu lebar sehingga tidak mungkin bagi PTI lokal untuk mengejar kompetitornya.
Pada akhirnya kompetisi akan terjadi antara PTA dengan PTI unggulan di lokasi mereka. Kemenristekdikti mengharapkan persaingan akan terjadi di bidang penelitian, publikasi, dan inovasi, tetapi domain ini hanyalah menjadi secondary battlefield. Persaingan yang paling sengit adalah pada penerimaan mahasiswa, karena mahasiswa adalah sumber utama kehidupan perguruan tinggi di manapun juga. PTA dan PTI unggulan berlomba mendapatkan mahasiswa-mahasiswa dengan kemampuan akademik terbaik, terutama mereka yang juga memiliki kemampuan finansial yang memadai.
Persaingan di bidang penerimaan mahasiswa ini diramalkan tidak hanya berlangsung pada jenjang sarjana, tapi juga pada jenjang pascasarjana. Mengapa? Karena dosen-dosen PTA tersebut (yang entitas organisasinya di Indonesia berbentuk PTS) juga terikat dengan peraturan pemerintah terkait kewajiban dosen, salah satunya yang sekarang sedang gencar digalakkan adalah melakukan penelitian dan publikasi. Dalam hal ini, memiliki program pascasarjana adalah sebuah keharusan, karena mahasiswa pascasarjana adalah “kuda beban” yang sangat efektif bagi pelaksanaan penelitian di perguruan tinggi. Tanpa didukung oleh mahasiswa S2 dan (terutama) S3 yang berkualitas, dosen tidak akan sanggup menjalankan kewajiban melakukan penelitian dan publikasi dengan baik.
Kelebihan PTA dalam hal menarik minat calon mahasiswa terutama adalah fasilitas yang disediakan. Mereka pasti akan memberikan sarana, prasarana, dan sumberdaya pendidikan, penelitian, dan pengembangan diri yang terbaik bagi mahasiswanya, tapi menurut saya ada satu keunggulan mereka yang perlu mendapatkan perhatian: akses ke jejaring eksternal. Sebagai kepanjangan tangan PTA asli di luar negeri, PTA di Indonesia pasti memiliki saluran-saluran akses ke jejaring yang dimiliki oleh PTA induknya, yang skalanya mendunia. Global outreach inilah yang sebenarnya menjadi “senjata” yang ampuh dalam era globalisasi, karena memberikan peluang yang lebih besar bagi sinergi dan kolaborasi dengan mitra yang cocok dengan kebutuhan. Siapa yang memiliki akses ke jejaring yang lebih luas dan kapabilitas dalam mengekstrak potensi-potensi di dalamnya, dialah yang akan memenangkan persaingan. Bagi mahasiswa yang memiliki pandangan dan semangat globalisasi (dan kebanyakan anak-anak generasi milenial memiliki pandangan seperti ini), tawaran global outreach tentulah sangat menggiurkan.
Apakah PTI memiliki keunggulan dibandingkan PTA? Tentu saja. PTI sudah lama eksis di Indonesia. Hal ihwal seputar keindonesiaan, tentulah PTI jauh lebih paham daripada PTA. Dan keindonesiaan ini menawarkan potensi yang luar biasa juga. Banyak anak-anak Indonesia yang berkualitas yang memiliki rasa kebangsaan yang kuat, mereka lebih senang menjadi mahasiswa di PTI. Problem-problem bangsa dan masyarakat banyak yang bisa diangkat menjadi topik-topik penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Indonesia juga memiliki sumber daya dan jejaring yang luar biasa. Intinya, lokalitas dalam konteks globalisassem bukanlah sebuah kelemahan, ia akan menjadi potensi besar jika dimanfaatkan dengan pendekatan yang benar.
Tidak seperti dalam penerimaan mahasiswa, persaingan dalam penelitian dan publikasi antara PTA dan PTI unggulan tidaklah bersifat head-to-head. Lebih seperti perlombaan tepatnya, dan sebenarnya yang berkepentingan lebih besar adalah Kemenristekdikti karena penelitian dan publikasi ini menjadi KPI kementrian ini (yang kemudian diturunkan menjadi KPI perguruan tinggi se-Indonesia). Logikanya, semakin banyak karya ilmiah yang terindeks Scopus/ISI yang dihasilkan oleh semua perguruan tinggi, semakin tinggi capaian targetnya. Di Indonesia, secara umum iklim penelitian (dan publikasi) belum terlalu tumbuh. Akibatnya, meneliti dan mempublikasikan hasil penelitian belum menjadi panggilan dari dalam diri (internal call) institusi akademik, tapi lebih bersifat “melaksanakan kewajiban”. Menghadirkan PTA untuk memacu penelitian di PTI memang akan efektif, tetapi efektivitas ini tidak muncul karena dorongan internal dari dalam PTI itu sendiri. Untuk menumbukan dorongan internal, ada sejumlah PR besar yang harus diselesaikan: kesejahteraan dosen, ketersediaan anggaran, sarana prasarana penelitian, birokrasi penelitian, dan sebagainya.
Kemenristekdikti juga berharap dengan adanya PTA, maka PTI akan lebih terakselerasi untuk menghasilkan inovasi. Saya rasa ekspektasi ini terlalu disederhanakan (oversimplified). Inovasi memang selalu muncul dari kegiatan penelitian, tetapi inovasi tidak muncul langsung dari hasil penelitian. Ada banyak hal yang harus disiapkan sebelum hasil penelitian bisa menjadi inovasi. Inovasi berarti nilai tambah yang terealisasikan bagi pemakainya. Hilirisasi dan/ atau komersialisasi hasil penelitian menjadi prasyarat bagi munculnya inovasi. Sayangnya dalam hal hilirisasi/komersialisasi ini kinerja kita masih lemah. Yang dikhawatirkan justru yang akan terakselerasi inovasinya adalah PTA. Dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, yang berpotensi akan dibawa ke saluran hilirisasi di perguruan tinggi induk di negara asal mereka, yang jelas jauh lebih siap dibandingkan saluran hilirisasi di Indonesia. Ini artinya mereka melakukan inovasi dengan sumber daya kita, tetapi hasilnya lebih banyak dibawa ke luar Indonesia (brain drain).
Siapa yang Terdampak?
Desain kebijakan Kemenristekdikti tentang ijin beroperasi bagi PTA akan berdampak langsung pada PTI unggulan. UI, ITB, UGM, dan perguruan-perguruan tinggi terbaik lainnya yang akan merasakan langsung kompetisi dalam berbagai bidang dengan mereka karena posisinya yang setara. Selain itu, mereka juga menghadapi kemungkinan pindahnya beberapa dosen muda yang potensial (terutama yang belum berstatus PNS) ke PTA karena iming-iming gaji dan fasilitas yang lebih baik.
Bagaimana dengan PTI, baik negeri maupun swasta, yang berada di lapis kedua? Kemenristekdikti mungkin juga berharap mereka akan ikut terpengaruh dan terimbas secara positif dengan kehadiran PTA di kotanya. Ambil contoh di Jakarta misalnya. Jika ada PTA di Jakarta, maka bukan hanya UI yang akan bersaing dengan mereka, tapi juga perguruan-perguruan tinggi lainnya, khususnya PTS kelas menengah. Yang terlihat jelas adalah persaingan dalam penerimaan mahasiswa, khususnya mereka yang berkemampuan finansial memadai. Mereka yang pandai DAN mampu membayar mahal punya opsi yang lebih banyak dengan adanya PTA, sehingga PTS yang memiliki ceruk pasar tipe ini akan lebih termarjinalisasikan. Mereka akan semakin banyak mendapatkan input yang berkualitas second class. Nasib mereka akan tergantung pada seberapa rentan mereka menghadapi situasi seperti ini; semakin tergantung pada mahasiswa, semakin berbahaya kondisinya.
Situasi bisa lebih parah ketika dosen PTI juga ikut-ikutan bermigrasi ke PTA. Bagi banyak PTI (terutama PTS), kinerja mereka sangat tergantung pada SDM unggul (misal, dosen yang berkualifikasi doktor) yang pada umumnya tidak banyak mereka miliki. PTI kelas menengah biasanya sudah memiliki tradisi ilmiah yang cukup bisa membuat dosen-dosen unggulan tersebut bersedia untuk tinggal, tapi iming-iming yang sangat menggoda bisa membuat mereka dengan mudah pindah ke PTA. Tanpa SDM unggul yang sedikit ini, profil prodi PTS akan buruk dan biasanya penelitian dan publikasinya juga tidak berjalan baik. Ujung-ujungnya nilai akreditasinya juga akan turun. Nilai akreditasi turun artinya kelangsungan hidup bisa terganggu.
Kemenristekdikti mungkin bisa berdalih, justru ketertinggalan itu seharusnya membuat PTI kelas menengah untuk semakin memacu meningkatkan kualitas. Tidak semudah itu.
Anggap saja kualitas perguruan tinggi ditentukan oleh predikat akreditasinya. PTI unggul terakreditasi A, level di bawahnya terakreditasi B. Kemenristekdikti ingin agar PTI yang masih berpredikat B naik kelas menjadi berpredikat A. Dalam sistem akreditasi BAN-PT, ini berarti menaikkan skor maksimal 60 poin untuk bisa naik kelas ke kategori A. Sekilas terkesan mudah, tapi sesungguhnya upaya naik kelas ini sulit sekali bagi sebagian besar PTI.
Jika kita lihat instrumen penilaian akreditasi BAN-PT untuk jenjang sarjana, terlihat bahwa bobot terbesar ada pada aspek SDM (standar IV) dan Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama (standar VII). Sekali lagi kita melihat bahwa dosen adalah faktor kunci, dan ada hubungan erat antara kualitas dosen dan kinerja penelitian & publikasi. Dalam banyak kesempatan, pemerintah sendiri mengakui bahwa secara umum SDM dosen kita masih lemah, dan banyak PTI yang kesulitan dalam berinvestasi di bidang strategis ini. Pengalaman saya pribadi sebagai asesor BAN-PT juga menunjukkan hal yang sama: tidak mudah merekrut dosen yang qualified. Tidak semua dosen juga mau dan bisa meneruskan studi lanjut ke jenjang S3, dan cukup banyak dosen yang kinerja penelitian/publikasinya masih jauh dari harapan. Banyak perguruan tinggi yang merasa sudah “mentok” dalam usaha pengembangan SDM ini, usaha mereka sudah mencapai kondisi “jenuh” (saturated). Tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengubah keadaan, kecuali kalau ada dukungan dan stimulus eksternal berupa peraturan, kebijakan, dan dukungan sumberdaya dari pemerintah yang mampu untuk membuat perubahan yang signifikan.
PTI kelas menengah inilah yang sesungguhnya perlu berhati-hati menghadapi masuknya PTA ke Indonesia. Kemenristekdikti perlu menindaklanjuti kebijakan ini dengan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat enabling PTI untuk menyiapkan diri menghadapi persaingan. Tanpa ada dukungan lebih lanjut, masuknya PTA hanya akan membunuh pelan-pelan PTI kelas menengah kita.
Sering berdiskusi dengan teman-teman akademisi di perguruan tinggi, terutama di daerah, membuka mata saya bahwa banyak perguruan tinggi di sana yang masih memerlukan bantuan dan dukungan dalam berbagai hal. Meskipun mungkin kecil, tetapi ijinkan saya menawarkan apa yang saya miliki untuk dimanfaatkan.
Idenya sederhana saja: berbagi pengetahuan, dan ide ini sering dilakukan di banyak perguruan tinggi di luar negeri. Akademisi dipandang sebagai seorang yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang bisa dibagikan kepada orang lain, sehingga saat ia pergi ke sebuah kota, ia dapat diminta untuk membagikan pengetahuannya di perguruan tinggi di kota tersebut.
Proses berbagi pengetahuan ini “ringan” dan tidak memberatkan pihak yang diundang maupun yang mengundang. Proses ini tidak memerlukan banyak persiapan, tenaga, dan biaya dari kedua pihak. Akademisi narasumber tidak perlu menyiapkan diri secara khusus. Dia hanya perlu datang dan bercerita tentang hal yang akan dibagikannya. Perguruan tinggi pengundang juga tidak perlu mengeluarkan banyak sumberdaya (tidak perlu membentuk panitia dan mengeluarkan dana besar). Cukuplah mengundang orang-orang yang bisa mendapatkan manfaat dari pengetahuan yang akan dibagi dan menyiapkan ruang tempat pelaksanaannya. Tidak perlu memasukkan kegiatan ini secara khusus dalam rencana anggaran tahunan. Tidak perlu menyiapkan honor atau biaya transportasi bagi si akademisi. Tidak perlu mencarikan hotel juga.
Intinya, implementasinya sederhana saja: buat kesepakatan waktu, bertemu, laksanakan kegiatan dalam waktu 1-2 jam, selesai. Inilah yang ingin saya tawarkan kepara teman-teman di perguruan tinggi di daerah.
Saya sering bepergian ke luar kota, entah karena itu diundang untuk memberikan ceramah, melakukan asesmen lapangan dalam rangka akreditasi BAN-PT, mewawancarai calon penerima beasiswa, atau kegiatan lain. Sering kali dalam tugas-tugas tersebut saya punya sedikit waktu luang, biasanya setelah tugas saya selesai sambil menunggu jadwal kepulangan. Slot waktu luang inilah yang ingin saya tawarkan kepada teman-teman di perguruan tinggi di kota yang sedang saya kunjungi tersebut. Silakan memanfaatkan saya untuk berdiskusi, memberikan kuliah umum, mengisi seminar atau workshop (kalau jadwal seminarnya kebetulan bersamaan), atau kegiatan lain yang bisa bermanfaat bagi teman-teman.
Bagaimana caranya?
Setiap kali bertugas ke luar kota dan ada waktu luang, beberapa hari sebelumnya saya akan posting pengumuman di situs web ini dan juga di halaman Facebook saya. Selanjutnya langkah-langkahnya sbb:
1. Jika teman-teman berminat memanfaatkan saya, silakan kirim pesan pribadi (personal message) via Facebook (pesan pribadi, bukan menulis di wall saya). Jika belum menjadi teman atau follower saya, silakan cari akun saya di Facebook dengan ID: Lukito Edi Nugroho.
2. Dalam pesan pribadi tersebut, tuliskan: 1) nama dan institusi anda, 2) materi yang diinginkan, 3) peserta yang menjadi sasaran.
3. Prinsipnya permintaan akan dilayani secara first-come-first-served, tetapi jika dalam satu waktu ada lebih dari 1 permintaan, saya akan memilih salah satu yang menurut saya paling urgen.
4. Saya akan membalas permintaan terpilih dan mendiskusikan detil teknis pelaksanaannya via pesan pribadi Facebook juga.
Materi apa yang bisa saya sampaikan? Silakan menyimpulkan sendiri dari pengalaman-pengalaman saya selama ini, yang secara singkat bisa dibaca melalui tautan ini: http://lukito.staff.ugm.ac.id/tentang/
Sekali lagi, tawaran ini bersifat ringan dan tidak untuk memberatkan baik saya maupun teman-teman. Spontanitas saja, tidak perlu perencanaan dan persiapan yang terlalu berat. Tidak perlu juga memfasilitasi transportasi antar kota dan akomodasi saya atau memberikan honorarium, karena semua itu sudah ada pihak lain yang menanggung. Saya hanya memanfaatkan waktu luang yang ada. Sebaliknya juga jangan meminta yang berat dari saya, yang membuat saya harus menyiapkan diri secara berat juga.
Kalau dari kegiatan berbagi ini nanti ada materi presentasi atau lainnya, akan saya posting di blog pribadi ini juga.
Tujuan saya hanya satu: menjadi satu sekrup kecil bagi usaha perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pemberlakuan peraturan baru tentang kenaikan jabatan/pangkat dosen telah memicu rush pengusulan kenaikan jabatan/pangkat oleh dosen yang memang sudah memenuhi syarat. Hari-hari ini adalah hari-hari yang sangat melelahkan bagi para dosen, para reviewer karya ilmiah, para karyawan yang bertugas di bagian administrasi SDM, dan juga para karyawan di Dikti, khususnya di Ditendik. Dikti pasti disibukkan dengan penerimaan berkas usulan dan lampirannya yang masing-masing kalau ditumpuk tingginya bisa mencapai setengah meter atau lebih. Apalagi sekarang usulan untuk golongan III pun juga harus sampai ke Dikti. Kita bisa membayangkan berapa banyak ruang yang harus disediakan untuk menampung tumpukan berkas usulan, berapa banyak waktu yang harus disediakan untuk mencermati satu persatu, dan berapa banyak biaya untuk menjalankan semua proses yang harus dilaksanakan. Semua ini harus ditanggung Dikti.
Sebagai dosen, akhir-akhir ini saya merasa ada yang salah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan saya. Seharusnya aktivitas-aktivitas saya akan menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman di bidang keilmuan saya, tapi ternyata tidak. Akhir-akhir ini saya malah merasa menjadi mahir dalam melacak dokumen-dokumen SK, sertifikat seminar, prosiding-prosiding seminar yang pernah saya ikuti, dan sebagainya. Saya juga trampil dalam mengoperasikan mesin fotokopi dan scanner, tidak kalah dengan karyawan fotokopi beneran. Teman-teman saya juga begitu, apalagi hari-hari ini mereka yang mengusulkan kenaikan jabatan harus berkejaran dengan waktu karena mulai Mei 2014 nanti Dikti akan menerapkan aturan baru dalam kenaikan pangkat/jabatan yang, tentu saja, lebih sulit dan strict dibandingkan dengan aturan saat ini. Sungguh hari-hari ini mereka berubah menjadi pekerja administratif dan bukan pengawal kemajuan intelektual SDM.
Mungkin karena merasa gatal juga akibat huru-hara SIPKD yang tidak kunjung selesai, mungkin juga karena merasa ikut bertanggung jawab telah menulis artikel blog yang bikin rame, hari ini saya menyelesaikan tulisan baru berisi beberapa pemikiran tentang penyempurnaan SIPKD (dan sistem-sistem Dikti lainnya). Usulan ini didasarkan pada tujuan Dikti untuk merekam data kinerja dosen secara lengkap (ini adalah tujuan yang baik), yang saya gabungkan dengan modifikasi sistem yang ada saat ini untuk mengakomodasi peran/fungsi Dikti yang sebenarnya (sebagai regulator dan fasilitator).
Tulisan ini bukan tulisan ilmiah, hanya sekedar corat-coret ide. Mungkin saja ada ketidakakuratan karena saya tidak melakukan investigasi mendalam tentang sistem-sistem informasi Dikti. Mohon koreksinya kalau ada yang terlewat atau ketidakakuratan. Tujuan saya hanyalah menyediakan wacana untuk berdiskusi tentang bagaimana sebaiknya sistem-sistem Dikti dikembangkan, syukur kalau sampai ke para pengambil keputusan di Dikti dan kemudian ditindaklanjuti.
Akhirnya, selamat menikmati!
http://lukito.staff.ugm.ac.id/files/2014/02/Usulan-Perbaikan-Sistem-SIPKD.pdf
Maaf jika judulnya agak provokatif, karena Dikti memang perlu dikritisi secara keras.
SIPKD sudah hidup lagi, dengan tampilan baru, tetapi semangatnya masih yang lama. Saya belum sempat mencobanya kembali, tetapi dari cerita teman-teman yang sudah pernah mengakses, sepertinya juga masih ada masalah. Read the rest of this entry »