Hari-hari ini saya banyak membaca status beberapa mahasiswa yang banyak mengeluhkan tentang terjebaknya mereka dalam posisi ‘deadliner’ (selalu mengerjakan tugas-tugasnya saat menjelang deadline) dan ketidakmampuan mereka untuk keluar dari situasi itu. Kebetulan minggu kemarin saya memberi kuliah tentang e-Government, dan pada sesi terakhir saya memberi materi tentang bagaimana menjalankan perubahan strategis di organisasi.

Materinya sendiri saya ambil dari bukunya Black dan Gregersen, Leading Strategic Change (FT Prentice-Hall, 2003). Berbeda dari pendekatan-pendekatan lain, Black dan Gregersen (B&G) melihat perubahan di organisasi harus dimulai dari manusianya dulu, bukan dari organisasinya. Persoalannya, mengubah manusia itu sulit, utamanya karena mental map yang diikutinya selama ini. Mengubah manusia berarti mengubah mental map atau cara berpikir mereka. Kesulitan muncul karena manusia tidak mudah mengubah cara berpikir mereka, terutama jika cara berpikir itu terbukti berhasil di masa lampau dan mereka merasa nyaman dengan itu. Dengan kata lain, mental map yang sekarang dianut telah membawa manusia ke dalam zona nyaman (comfort zone). Siapa sih yang mau meninggalkan zona nyamannya?

B&G membagi problem perubahan menjadi tiga bagian: 1) ketidakmampuan melihat kebutuhan untuk berubah, 2) ketidakmampuan untuk bergerak memulai proses perubahan, dan 3) ketidakmampuan untuk menyelesaikan proses perubahan. Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas bagian pertama dulu: mengapa orang tidak mampu melihat perlunya dia berubah.

Pertanyaan ini sering kali menghantui karena seharusnya kebutuhan untuk berubah itu bisa terlihat dengan jelas. Seorang perokok tentu saja paham apa bahayanya merokok. Seorang deadliner tentu tahu bahwa hasil kerjanya tidak akan maksimal jika dikerjakan secara mendadak seperti itu. Mereka tahu bahwa kebiasaan mereka itu tidak baik, tetapi mengapa mereka tidak ‘tergerak’ untuk meninggalkannya?

Kata B&G, manusia sering terpaku pada mental map yang dianutnya. Mengapa? Karena cara berpikir itu terbukti membawa keberhasilan/kesuksesan atau menempatkannya pada zona nyaman. Jadi meskipun di depan ada lubang yang bisa mencelakakan atau bahaya yang mengancam, tetap saja manusia berjalan secara business as usual. Tarikan untuk tetap bertahan ini luar biasa kuatnya, karena manusia selalu mengacu pada pengalaman yg pernah dijalaninya. Jadi meski orang tahu tentang bahaya merokok, dia akan berpikir, toh selama ini baik-baik saja. Seorang deadliner, meski tahu kebiasaannya itu jelek, tapi karena selama ini tidak pernah ada masalah, dia akan tetap menjalankannya.

Bahkan ketika seseorang bereaksi terhadap bahaya yg mengancamnya, reaksinya juga cenderung bertahan dalam zona nyamannya. Contoh: seorang penderita kolesterol tinggi pasti tahu kalau makanan berlemak itu tidak baik baginya. Tapi karena makanan jenis itu memang lezat, dia tidak kuasa untuk menghindarinya. Apa yang dilakukannya untuk mengurangi resiko bahayanya? Alih-alih menjauhinya, yang dia lakukan adalah minum obat penurun kolesterol. Reaksinya ternyata tidak cukup kuat untuk mebuatnya berubah. Dia tidak mau (dan tidak mampu) keluar dari zona nyamannya…

Lalu, bagaimana caranya untuk “memaksa” diri untuk berubah?

B&G mengusulkan dua strategi: contrast & confrontation. Kontras adalah usaha untuk membedakan secara jelas antara kondisi sekarang dan kondisi setelah berubah. Orang hanya akan mau berubah jika dia bisa melihat alasan (reason) mengapa dia harus berubah. Konfrontasi adalah cara untuk “memaksa” seseorang untuk melihat kondisi yang dihadapinya. Kadang manusia perlu digugah dengan cara “disentak”. Gambar paru-paru yang menghitam karena nikotin, jika ditunjukkan pada seorang perokok, bisa menimbulkan efek kejut yang besar. Efek kejut inilah yang harapannya dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah.

Persoalannya, menumbuhkan kontras dan konfrontasi terhadap diri sendiri itu sulit, karena justru pikiran kita yang menjadi sasaran. Perlu kejernihan pikiran untuk bisa memunculkan kontras. Kontras bisa muncul jika ada obyektifitas dan kejujuran diri. Bandingkan antara kondisi yg akan dicapai (tujuan perubahan) dengan kondisi saat ini. Sekali lagi, syaratnya satu: jujur dan obyektif. Renungkanlah: bagus mana sih, bekerja secara deadliner, atau bekerja secara terencana? Kalau bisa bersikap jujur, rasanya jawabannya juga jelas.

Konfrontasi bisa dibangkitkan jika ada motivasi internal dengan momentum yang cukup besar untuk mampu membawa diri bisa melihat kenyataan dan mengalami apa yang disebut dengan “unescapable situation”. Kondisi yang tidak bisa dihindari ini yang kemudian bisa menumbuhkan kesadaran baru. Masalahnya, apakah berani membawa diri ke kondisi unescapable situation ini? Misalnya: untuk semua kuliah yg diikuti dalam semester berjalan, belajarnya hanya pada saat malam sebelum ujian saja. Bisa saja hasil akhirnya adalah IP yang nol koma sekian. Mungkin ini akan menjadi unescapable situation yang menggugah kesadaran, tetapi kembali pertanyaannya: beranikah melakukan hal ini?

Kalau tidak bisa menumbuhkan kontras dan konfrontasi secara mandiri, berarti harus mencari bantuan orang lain. Carilah orang yang bisa membantu memberikan kontras dan membawa kita mengalami konfrontasi yang berdampak munculnya kesadaran terhadap perubahan. Dan menemukan orang seperti ini juga tidak mudah. Mengapa? Karena untuk bisa menumbuhkan kontras dan konfrontasi diperlukan komunikasi yang berkualitas. Selain skill yang bagus, komunikasi seperti ini juga perlu chemistry yang cocok antara pihak-pihak yang saling berkomunikasi.

Ternyata berubah itu sulit ya? Memang. Dan ini masih tahap pertama lho. Kita masih berbicara tentang bagaimana membuat diri menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk berubah. Kita belum bicara tentang ketidakmampuan untuk memulai proses perubahan. Tentang ini, nanti saya share di tulisan berikutnya.