Pemberlakuan peraturan baru tentang kenaikan jabatan/pangkat dosen telah memicu rush pengusulan kenaikan jabatan/pangkat oleh dosen yang memang sudah memenuhi syarat. Hari-hari ini adalah hari-hari yang sangat melelahkan bagi para dosen, para reviewer karya ilmiah, para karyawan yang bertugas di bagian administrasi SDM, dan juga para karyawan di Dikti, khususnya di Ditendik. Dikti pasti disibukkan dengan penerimaan berkas usulan dan lampirannya yang masing-masing kalau ditumpuk tingginya bisa mencapai setengah meter atau lebih. Apalagi sekarang usulan untuk golongan III pun juga harus sampai ke Dikti. Kita bisa membayangkan berapa banyak ruang yang harus disediakan untuk menampung tumpukan berkas usulan, berapa banyak waktu yang harus disediakan untuk mencermati satu persatu, dan berapa banyak biaya untuk menjalankan semua proses yang harus dilaksanakan. Semua ini harus ditanggung Dikti.


Sungguh harga yang mahal yang harus dibayar untuk kebijakan-kebijakan yang bersifat sentralistis ini. Anyway, kali ini saya tidak akan membahas tentang sentralisasi ini. Saya ingin berkontribusi sedikit pemikiran untuk meringankan tugas tim reviewer karya ilmiah di Dikti yang harus memeriksa keabsahan sebuah karya publikasi, baik di jurnal ataupun prosiding seminar.

Proses verifikasi naskah bertujuan memeriksa apakah sebuah tulisan benar-benar dimuat di suatu jurnal atau prosiding seminar, juga untuk memeriksa eksistensi dan kualitas jurnal atau seminar tersebut. Tim reviewer melaksanakan verifikasi ini dengan cukup cermat dan detil, mungkin karena tidak ingin kecolongan oleh oknum-oknum yang berusaha memasukkan publikasi mereka dengan cara-cara yang tidak terpuji. Mungkin karena ingin cermat itulah maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh dosen pengusul menjadi banyak sekali, cenderung berlebihan. Dosen harus mengumpulkan prosiding atau jurnal aslinya. Dosen harus menunjukkan bukti eksistensi jurnal atau seminarnya (berupa situs web atau cara lainnya). Ada yang bilang juga harus mengumpulkan sertifikat keikutsertaan seminar, bahkan catatan diskusi/tanya jawab saat presentasi makalah.

Sungguh luar biasa beban dosen yang sedang mengusulkan kenaikan pangkat/jabatan. Begitu banyak syarat yang harus dipenuhi, begitu berat dokumen yang harus dikirim atau dibawa ke kantor Dikti. Ini semua berasal dari cara pandang yang berdasar pada ketidakpercayaan. Dikti seolah mengatakan, “Kami menganggap dosen itu cenderung berbuat curang, sehingga kami perlu memperketat persyaratan untuk mencegah mereka berbuat curang.”

Well…pernyataan di atas memang bisa didebat, tapi saya tidak ingin berdebat soal itu. Saya ingin mengajukan satu usulan perubahan kecil yang bisa berimplikasi besar, terutama pada keharusan membawa segerobag dokumen sebagai bukti publikasi ilmiah. Usul ini terinspirasi oleh obrolan beberapa teman di sebuah jejaring sosial.

Usul saya: bisakah Dikti memanfaatkan Digital Object Identifier (DOI) sebagai sarana untuk melakukan verifikasi tulisan ilmiah yang diusulkan dosen?

DOI adalah sebuah cara untuk memberi identitas (digital) bagi sebuah obyek, yang dalam hal ini adalah tulisan ilmiah. Sebagai pengidentifikasi, sebuah DOI bersifat unik (tidak ada duanya) dan persisten (tidak berubah). Begitu dipakai untuk mengidentifikasi sebuah dokumen, maka ia akan melekat di dokumen itu, meski dokumennya diubah, berpindah lokasi, dsb.

DOI memiliki format yang sederhana, berbentuk string karakter yang terbagi menjadi dua bagian: prefix dan suffix. Keduanya dipisahkan oleh karakter “/”. Bagian prefix menunjukkan sebuah otoritas (lembaga) yang berwenang meng-assign DOI, dan bagian suffix menunjukkan identifier yang diberikan untuk suatu obyek dokumen tertentu.

Contoh sebuah DOI: 10.1109/ISPAN.1999.778960. DOI ini mengidentifikasi sebuah makalah dalam Prosiding I-SPAN 99 seperti terlihat pada gambar di bawah ini.


Sebuah DOI bisa dikaitkan dengan lokasi tempat dokumen yang ditunjuknya berada. Berbekal sebuah DOI, kita bisa mendapatkan dokumen tersebut tanpa harus mengetahui secara persis di URL mana dokumen tersebut disimpan. Sebagai contoh, DOI pada contoh di atas dapat dilekatkan ke URL yang memberikan layanan resolusi (penemuan lokasi) seperti http://dx.doi.org, sehingga akan berbentuk sbb:

http://dx.doi.org/10.1109/ISPAN.1999.778960

URL ini akan menunjuk ke lokasi yang sebenarnya tempat dokumen tersebut tersimpan, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Dari halaman web yang ditunjuk oleh DOI di atas bisa dilihat beberapa informasi yang dapat digunakan untuk melacak eksistensi sebuah paper, juga tentang forum/media publikasinya.

DOI dikeluarkan oleh sebuah organisasi yang berminat mendaftarkan dokumen-dokumennya ke sistem database DOI. Organisasi, yang dalam terminologi DOI disebut Registrant, dapat mendaftarkan diri ke International DOI Foundation yang mengelola sistem DOI ini, dan begitu terdaftar, sebuah Registrant dapat mengeluarkan DOInya secara independen. Sampai April 2013, sudah lebih dari 85 juta DOI dikeluarkan oleh 9500 organisasi berupa penerbit, penyelenggara digital library, dan lain-lainnya.

Bagaimana Dikti dapat memanfaatkan DOI dalam proses verifikasi publikasi karya ilmiah?

Sederhana saja. Dikti dapat menggunakan DOI untuk melacak eksistensi sebuah dokumen (karya ilmiah). Dalam usulannya, dosen cukup menuliskan informasi tentang publikasinya, lengkap dengan DOI yang merujuk ke tulisan tersebut. Dosen tidak perlu menunjukkan prosiding/jurnal asli ke tim reviewer.  membuktikan keaslian tulisannya.

Tim reviewer kemudian dapat melacak tulisan yang ditunjuk oleh DOI tersebut melalui layanan resolusi seperti yang saya jelaskan di atas. Buka situs http://dx.doi.org, lalu masukkan DOI. Cukup seperti itu saja.

Tim reviewer mungkin bertanya: bisakah DOI dipercaya? DOI memang tidak ditujukan untuk menjamin apakah sebuah obyek itu bisa dipercaya atau tidak (misalnya, untuk memeriksa keutuhan integritas naskah), tetapi sebagai sebuah sistem, DOI telah distandarkan sebagai ISO 26324. Semua Registrant yang menggunakan DOI harus mematuhi standar ISO ini. Intinya, sistem dan mekanisme DOI dijalankan dalam sebuah lingkungan yang terkendali. Jadi meskipun isi sebuah dokumen bisa saja diragukan, tetapi sistem temu lacaknya dapat dipercaya karena sudah terstandarisasi.

Gambar di bawah ini menunjukkan prosiding (hardcopy) tebalnya sekitar 3 cm.

 

Bandingkan dengan gambar berikut ini, usulan versi DOI yang cukup memerlukan seperlima halaman kertas A4. Cukup informasi inilah yang dikirimkan oleh dosen ke Dikti.

 

Tentu saja belum semua publikasi ilmiah memiliki DOI. Untuk naskah publikasi yang berlum ber-DOI, cara manual masih diperlukan, meskipun juga saya tidak sepenuhnya setuju jika dosen harus menunjukkan bukti fisik aslinya. Cukuplah copy makalahnya saja, ditambah beberapa informasi tentang jurnal/prosidingnya (cover, daftar isi, tim editor, waktu pelaksanaan, dan informasi lain yang diperlukan). Kalau argumennya adalah dengan menunjukkan versi hardcopy asli maka proses verifikasi untuk membuktian eksistensi tulisan akan lebih mudah, maka pertanyaannya adalah: benarkah demikian? Dengan teknologi percetakan saat ini, sama sekali tidak sulit untuk mencetak jurnal/prosiding (palsu) yang sama persis dengan aslinya. Lagipula, jika bukti fisik diserahkan ke Dikti, tidak ada jaminan prosiding dan jurnal asli tersebut dapat kita ambil kembali. Padahal bagi dosen, prosiding atau jurnal adalah sebuah dokumen berharga yang menunjukkan jejak-jejak karya intelektualnya.

Kita perlu mencari cara yang lebih cerdas dan memudahkan semua pihak. Teknologi sudah tersedia, tinggal menggunakannya.