Masa sekolah S3 adalah masa yang penuh ketidakpastian, karena riset S3 pada hakekatnya adalah aktivitas eksplorasi terhadap hal-hal yang belum diketahui. Banyak kemungkinan bisa terjadi, dan kadang-kadang efeknya bisa menggoyahkan mental. Yang juga perlu diperhatikan adalah terkadang peristiwa-peristiwa yang harus dihadapi tidak hanya berkaitan dengan riset, tetapi juga menyangkut faktor-faktor lain seperti dana, pembimbing, bahkan keluarga.

Untuk menghadapi berbagai ketidakpastian dan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, mental harus kuat. Persiapan mental terutama bertujuan untuk menguatkan diri menghadapi gejolak-gejolak emosional seperti kebingungan, ketidaksabaran, rasa terombang-ambing, kekhawatiran, stress, atau melemahnya motivasi. Sejak awal proses pendaftaran dan seleksi, kemungkinan munculnya berbagai gejolak tersebut cukup besar, dan semakin membesar seiring dengan berjalannya proses riset dan penulisan disertasi.

Sebelum memasuki program doktor, calon mahasiswa harus memiliki kesadaran tentang apa yang akan dijalani dan ditemuinya. Memahami apa yang akan ditemui setidaknya dapat meminimalkan kejutan-kejutan mental saat benar-benar mengalaminya. Jadi kenalilah dengan baik tahapan-tahapan yang akan dilalui serta pernak-pernik yang mengikutinya. Banyak sumber informasi yang bisa dimanfaatkan. Berkonsultasi dengan (calon) dosen pembimbing atau mahasiswa S3 yang sudah lebih dulu memulai prosesnya adalah cara pengenalan yang efektif.

Pemahaman terhadap studi S3 dapat ditingkatkan kualitasnya jika kita kritis terhadap informasi-informasi yang diperoleh. Kekritisan ini akan memicu pertanyaan-pertanyaan berikutnya, dan pada akhirnya jawaban-jawaban yang diperoleh dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang informasi tersebut. Sebagai contoh, jika kita bertanya,”Apa bedanya riset S3 dengan riset S2?”. Jawaban yang muncul sering kali adalah,”Riset S3 harus menghasilkan orisinalitas tertentu”. Jika pertanyaannya dilanjutkan untuk mengeksplorasi terminologi “orisinalitas”, maka kita akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi. Jadi, jangan puas dengan jawaban pertama saja. Lanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan eksploratif berikutnya.
Persiapan mental tidak hanya terkait dengan riset yang akan dihadapi. Memasuki sebuah lingkungan barupun juga memerlukan persiapan yang matang. Hal ini terutama berlaku untuk calon mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang “berbeda” dari lingkungan akademik tempatnya melakukan riset. Kadang-kadang ego pribadi perlu disetel ulang. Ambil contoh mahasiswa S3 yang bekerja sebagai dosen misalnya. Jika di kampus asalnya ia adalah subyek yang mengarahkan mahasiswa, saat belajar S3, ia adalah obyek yang diarahkan. Demikian pula mahasiswa yang berasal dari lingkungan birokrasi biasanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kultur akademis. Jika setelan mental seperti ini tidak disiapkan, bisa memunculkan rasa sakit hati, tersinggung, kecewa, dan berbagai bentuk negatif lainnya yang dapat menghambat studi.

Selain kesadaran dan penerimaan mental terhadap situasi saat menjalani proses studi S3, yang juga penting ditumbuhkan adalah sikap atau attitude. Tuntutan kemandirian dalam riset mengharuskan mahasiswa memiliki beberapa attitude yang mengarah pada keaktifan, inisiatif, berorientasi sasaran, dan kreativitas. Beberapa sikap yang perlu ditumbuhkan adalah:

  • Memelihara keingintahuan akademis (academic curiousity). Sikap ini adalah modal dasar seorang ilmuwan. Keingintahuan akademis adalah pendorong terbesar seorang periset dalam menjalankan riset-risetnya. Setiap kali menemui persoalan ilmiah yang tidak diketahui secara tuntas, otomatis muncul pertanyaan-pertanyaan “apa”, “mengapa”, atau “bagaimana”. Selanjutnya apa yang dilakukan sepenuhnya didorong untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasa ingin tahu inilah yang memungkinkan ilmu pengetahuan melangkah setapak demi setapak menuju kemajuan.
  • Jujur dan obyektif. Kejujuran dan obyektivitas adalah modal utama seorang periset. Kejujuran berkaitan dengan kesediaan untuk menyampaikan segala sesuatu apa adanya, terutama yang terkait dengan proses dan hasil riset, serta pengakuan terhadap karya orang lain. Obyektivitas menyangkut kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan-kepentingan lain kecuali kepentingan ilmiah itu sendiri. Kejujuran dan obyektivitas adalah harga diri dan integritas seorang periset. Tanpa keduanya, tidak akan ada pengakuan terhadap kehidupan kita sebagai periset, dan tidak akan ada kebanggaan apapun yang bisa digenggam.
  • Memiliki determinasi dan daya tahan (endurance) tinggi. Determinasi menunjukkan seberapa tinggi tingkat kesungguhan kita dalam mencapai suatu tujuan. Sering kali periset menghadapi jalan yang sepertinya buntu. Padahal sebenarnya hasil yang diinginkan berada tepat di balik tembok yang menghalangi jalan tersebut. Sebelum benar-benar menyatakan buntu, diperlukan usaha yang keras dalam mengeksplorasi segala kemungkinan yang ada, dan ini memerlukan daya tahan tinggi. Daya tahan adalah sifat intrinsik yang memungkinkan manusia bisa tetap memelihara semangat dan motivasi dalam menghadapi tantangan.
  • Sabar. Kesabaran terkait dengan kematangan emosional seseorang dalam menghadapi kendala dan hambatan. Orang yang sabar dapat mengendalikan emosinya meski dalam keadaan tertekan. Pengendalian emosi ini sangat penting dalam riset karena emosi tinggi pada umumnya dapat mengganggu konsentrasi/fokus dan obyektivitas.
  • Komunikatif. Riset bukanlah aktivitas yang bersifat soliter (menyendiri). Melakukan riset berarti berhubungan dengan komunitas ilmiah, baik dilakukan secara langsung (misalnya, diskusi dan presentasi seminar) maupun tidak langsung (misalnya, melalui publikasi). Dengan demikian penting bagi periset untuk bersikap komunikatif. Ia harus mampu menyampaikan ide, gagasan, serta hasil-hasil penelitiannya secara proporsional, dan sebaliknya, ia juga harus mampu menerima gagasan dan hasil penelitian orang lain.
  • Berorientasi sasaran. Kegiatan riset harus selalu dibingkai oleh sasaran-sasaran. Bukan hanya sasaran hasil, tetapi juga sasaran-sasaran lain seperti waktu atau biaya. Orientasi sasaran akan memudahkan periset dalam memfokuskan kegiatan-kegiatannya dan mengesampingkan hal-hal lain yang tidak membawanya pada tercapainya sasaran-sasaran tersebut.