Beberapa waktu belakangan ini Kemristekdikti menggencarkan rencana untuk mengijinkan perguruan tinggi asing (PTA) masuk ke Indonesia. Yang terakhir, dalam pertemuan PTN-bh di Surabaya tanggal 4 April 2018 yang lalu, keinginan itu disampaikan kembali secara lebih eksplisit dalam bentuk presentasi Menristekdikti. Dalam presentasi tersebut disebutkan bahwa tujuan pemberian ijin PTA untuk beroperasi di Indonesia adalah: 1) menjadikannya benchmark bagi PT di Indonesia (PTI) dalam upaya peningkatan kualitas, 2) menghemat biaya pendidikan dan mengurangi aliran devisa ke LN, 3) mengembangkan SDM Indonesia pada bidang-bidang khusus, terutama bidang STEM, dan 4) meningkatkan kesempatan penelitian, publikasi, dan inovasi melalui fasilitas dan sumberdaya yang memadai. PTA diijinkan beroperasi dalam bentuk PTS yang memiliki badan penyelenggara tersendiri, berlokasi di daerah-daerah yang khusus ditetapkan untuk itu (Kawasan Ekonomi Khusus – KEK), dan hanya PTA yang berkualitas saja yang akan diberi ijin.
Menjadi menarik untuk dianalisis, apakah kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya dan siapa yang merasakan dampak paling besar dari kebijakan tersebut, mengingat baru kali ini pemerintah membuka keran ijin liberalisasi di bidang pendidikan. Apakah hasilnya efektif akan meningkatkan penelitian, publikasi, dan inovasi secara sistemik, atau dampak negatifnya yang justru lebih banyak?
Efektivitas Kebijakan
Terkait dengan syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah dan tujuan menjadi benchmark bagi PTI, maka rasanya setting yang paling memungkinkan adalah menetapkan KEK di lokasi-lokasi tempat domisili PTI yang unggul. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya menjadi kandidat utama lokasi PTA karena di kota-kota tersebut terdapat PTI-PTI terbaik di Indonesia. Tidak ada gunanya menempatkan PTA di kota-kota yang belum memiliki akar tradisi pendidikan tinggi yang kuat, karena fungsi benchmark menjadi terlalu berlebihan (overkill): gap antara PTI lokal dengan PTA akan terlalu lebar sehingga tidak mungkin bagi PTI lokal untuk mengejar kompetitornya.
Pada akhirnya kompetisi akan terjadi antara PTA dengan PTI unggulan di lokasi mereka. Kemenristekdikti mengharapkan persaingan akan terjadi di bidang penelitian, publikasi, dan inovasi, tetapi domain ini hanyalah menjadi secondary battlefield. Persaingan yang paling sengit adalah pada penerimaan mahasiswa, karena mahasiswa adalah sumber utama kehidupan perguruan tinggi di manapun juga. PTA dan PTI unggulan berlomba mendapatkan mahasiswa-mahasiswa dengan kemampuan akademik terbaik, terutama mereka yang juga memiliki kemampuan finansial yang memadai.
Persaingan di bidang penerimaan mahasiswa ini diramalkan tidak hanya berlangsung pada jenjang sarjana, tapi juga pada jenjang pascasarjana. Mengapa? Karena dosen-dosen PTA tersebut (yang entitas organisasinya di Indonesia berbentuk PTS) juga terikat dengan peraturan pemerintah terkait kewajiban dosen, salah satunya yang sekarang sedang gencar digalakkan adalah melakukan penelitian dan publikasi. Dalam hal ini, memiliki program pascasarjana adalah sebuah keharusan, karena mahasiswa pascasarjana adalah “kuda beban” yang sangat efektif bagi pelaksanaan penelitian di perguruan tinggi. Tanpa didukung oleh mahasiswa S2 dan (terutama) S3 yang berkualitas, dosen tidak akan sanggup menjalankan kewajiban melakukan penelitian dan publikasi dengan baik.
Kelebihan PTA dalam hal menarik minat calon mahasiswa terutama adalah fasilitas yang disediakan. Mereka pasti akan memberikan sarana, prasarana, dan sumberdaya pendidikan, penelitian, dan pengembangan diri yang terbaik bagi mahasiswanya, tapi menurut saya ada satu keunggulan mereka yang perlu mendapatkan perhatian: akses ke jejaring eksternal. Sebagai kepanjangan tangan PTA asli di luar negeri, PTA di Indonesia pasti memiliki saluran-saluran akses ke jejaring yang dimiliki oleh PTA induknya, yang skalanya mendunia. Global outreach inilah yang sebenarnya menjadi “senjata” yang ampuh dalam era globalisasi, karena memberikan peluang yang lebih besar bagi sinergi dan kolaborasi dengan mitra yang cocok dengan kebutuhan. Siapa yang memiliki akses ke jejaring yang lebih luas dan kapabilitas dalam mengekstrak potensi-potensi di dalamnya, dialah yang akan memenangkan persaingan. Bagi mahasiswa yang memiliki pandangan dan semangat globalisasi (dan kebanyakan anak-anak generasi milenial memiliki pandangan seperti ini), tawaran global outreach tentulah sangat menggiurkan.
Apakah PTI memiliki keunggulan dibandingkan PTA? Tentu saja. PTI sudah lama eksis di Indonesia. Hal ihwal seputar keindonesiaan, tentulah PTI jauh lebih paham daripada PTA. Dan keindonesiaan ini menawarkan potensi yang luar biasa juga. Banyak anak-anak Indonesia yang berkualitas yang memiliki rasa kebangsaan yang kuat, mereka lebih senang menjadi mahasiswa di PTI. Problem-problem bangsa dan masyarakat banyak yang bisa diangkat menjadi topik-topik penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Indonesia juga memiliki sumber daya dan jejaring yang luar biasa. Intinya, lokalitas dalam konteks globalisassem bukanlah sebuah kelemahan, ia akan menjadi potensi besar jika dimanfaatkan dengan pendekatan yang benar.
Tidak seperti dalam penerimaan mahasiswa, persaingan dalam penelitian dan publikasi antara PTA dan PTI unggulan tidaklah bersifat head-to-head. Lebih seperti perlombaan tepatnya, dan sebenarnya yang berkepentingan lebih besar adalah Kemenristekdikti karena penelitian dan publikasi ini menjadi KPI kementrian ini (yang kemudian diturunkan menjadi KPI perguruan tinggi se-Indonesia). Logikanya, semakin banyak karya ilmiah yang terindeks Scopus/ISI yang dihasilkan oleh semua perguruan tinggi, semakin tinggi capaian targetnya. Di Indonesia, secara umum iklim penelitian (dan publikasi) belum terlalu tumbuh. Akibatnya, meneliti dan mempublikasikan hasil penelitian belum menjadi panggilan dari dalam diri (internal call) institusi akademik, tapi lebih bersifat “melaksanakan kewajiban”. Menghadirkan PTA untuk memacu penelitian di PTI memang akan efektif, tetapi efektivitas ini tidak muncul karena dorongan internal dari dalam PTI itu sendiri. Untuk menumbukan dorongan internal, ada sejumlah PR besar yang harus diselesaikan: kesejahteraan dosen, ketersediaan anggaran, sarana prasarana penelitian, birokrasi penelitian, dan sebagainya.
Kemenristekdikti juga berharap dengan adanya PTA, maka PTI akan lebih terakselerasi untuk menghasilkan inovasi. Saya rasa ekspektasi ini terlalu disederhanakan (oversimplified). Inovasi memang selalu muncul dari kegiatan penelitian, tetapi inovasi tidak muncul langsung dari hasil penelitian. Ada banyak hal yang harus disiapkan sebelum hasil penelitian bisa menjadi inovasi. Inovasi berarti nilai tambah yang terealisasikan bagi pemakainya. Hilirisasi dan/ atau komersialisasi hasil penelitian menjadi prasyarat bagi munculnya inovasi. Sayangnya dalam hal hilirisasi/komersialisasi ini kinerja kita masih lemah. Yang dikhawatirkan justru yang akan terakselerasi inovasinya adalah PTA. Dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, yang berpotensi akan dibawa ke saluran hilirisasi di perguruan tinggi induk di negara asal mereka, yang jelas jauh lebih siap dibandingkan saluran hilirisasi di Indonesia. Ini artinya mereka melakukan inovasi dengan sumber daya kita, tetapi hasilnya lebih banyak dibawa ke luar Indonesia (brain drain).
Siapa yang Terdampak?
Desain kebijakan Kemenristekdikti tentang ijin beroperasi bagi PTA akan berdampak langsung pada PTI unggulan. UI, ITB, UGM, dan perguruan-perguruan tinggi terbaik lainnya yang akan merasakan langsung kompetisi dalam berbagai bidang dengan mereka karena posisinya yang setara. Selain itu, mereka juga menghadapi kemungkinan pindahnya beberapa dosen muda yang potensial (terutama yang belum berstatus PNS) ke PTA karena iming-iming gaji dan fasilitas yang lebih baik.
Bagaimana dengan PTI, baik negeri maupun swasta, yang berada di lapis kedua? Kemenristekdikti mungkin juga berharap mereka akan ikut terpengaruh dan terimbas secara positif dengan kehadiran PTA di kotanya. Ambil contoh di Jakarta misalnya. Jika ada PTA di Jakarta, maka bukan hanya UI yang akan bersaing dengan mereka, tapi juga perguruan-perguruan tinggi lainnya, khususnya PTS kelas menengah. Yang terlihat jelas adalah persaingan dalam penerimaan mahasiswa, khususnya mereka yang berkemampuan finansial memadai. Mereka yang pandai DAN mampu membayar mahal punya opsi yang lebih banyak dengan adanya PTA, sehingga PTS yang memiliki ceruk pasar tipe ini akan lebih termarjinalisasikan. Mereka akan semakin banyak mendapatkan input yang berkualitas second class. Nasib mereka akan tergantung pada seberapa rentan mereka menghadapi situasi seperti ini; semakin tergantung pada mahasiswa, semakin berbahaya kondisinya.
Situasi bisa lebih parah ketika dosen PTI juga ikut-ikutan bermigrasi ke PTA. Bagi banyak PTI (terutama PTS), kinerja mereka sangat tergantung pada SDM unggul (misal, dosen yang berkualifikasi doktor) yang pada umumnya tidak banyak mereka miliki. PTI kelas menengah biasanya sudah memiliki tradisi ilmiah yang cukup bisa membuat dosen-dosen unggulan tersebut bersedia untuk tinggal, tapi iming-iming yang sangat menggoda bisa membuat mereka dengan mudah pindah ke PTA. Tanpa SDM unggul yang sedikit ini, profil prodi PTS akan buruk dan biasanya penelitian dan publikasinya juga tidak berjalan baik. Ujung-ujungnya nilai akreditasinya juga akan turun. Nilai akreditasi turun artinya kelangsungan hidup bisa terganggu.
Kemenristekdikti mungkin bisa berdalih, justru ketertinggalan itu seharusnya membuat PTI kelas menengah untuk semakin memacu meningkatkan kualitas. Tidak semudah itu.
Anggap saja kualitas perguruan tinggi ditentukan oleh predikat akreditasinya. PTI unggul terakreditasi A, level di bawahnya terakreditasi B. Kemenristekdikti ingin agar PTI yang masih berpredikat B naik kelas menjadi berpredikat A. Dalam sistem akreditasi BAN-PT, ini berarti menaikkan skor maksimal 60 poin untuk bisa naik kelas ke kategori A. Sekilas terkesan mudah, tapi sesungguhnya upaya naik kelas ini sulit sekali bagi sebagian besar PTI.
Jika kita lihat instrumen penilaian akreditasi BAN-PT untuk jenjang sarjana, terlihat bahwa bobot terbesar ada pada aspek SDM (standar IV) dan Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama (standar VII). Sekali lagi kita melihat bahwa dosen adalah faktor kunci, dan ada hubungan erat antara kualitas dosen dan kinerja penelitian & publikasi. Dalam banyak kesempatan, pemerintah sendiri mengakui bahwa secara umum SDM dosen kita masih lemah, dan banyak PTI yang kesulitan dalam berinvestasi di bidang strategis ini. Pengalaman saya pribadi sebagai asesor BAN-PT juga menunjukkan hal yang sama: tidak mudah merekrut dosen yang qualified. Tidak semua dosen juga mau dan bisa meneruskan studi lanjut ke jenjang S3, dan cukup banyak dosen yang kinerja penelitian/publikasinya masih jauh dari harapan. Banyak perguruan tinggi yang merasa sudah “mentok” dalam usaha pengembangan SDM ini, usaha mereka sudah mencapai kondisi “jenuh” (saturated). Tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengubah keadaan, kecuali kalau ada dukungan dan stimulus eksternal berupa peraturan, kebijakan, dan dukungan sumberdaya dari pemerintah yang mampu untuk membuat perubahan yang signifikan.
PTI kelas menengah inilah yang sesungguhnya perlu berhati-hati menghadapi masuknya PTA ke Indonesia. Kemenristekdikti perlu menindaklanjuti kebijakan ini dengan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat enabling PTI untuk menyiapkan diri menghadapi persaingan. Tanpa ada dukungan lebih lanjut, masuknya PTA hanya akan membunuh pelan-pelan PTI kelas menengah kita.