Dalam tulisan pertama, saya menuliskan tentang penyebab pertama mengapa orang sulit untuk berubah: kegagalan melihat perlunya berubah, meski sudah paham di depannya menghadang bahaya (atau ada peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan). Ketidakmampuan melihat urgensi perubahan ini disebabkan oleh mindset atau mental map yang berlaku pada masa lalu yang terbukti berhasil. Mental map ini cenderung “menarik” kita untuk bertahan pada cara pandang yang lama, meski sebenarnya kita tahu bahwa pandangan itu keliru.
Dengan menerapkan kontras dan konfrontasi, diharapkan muncul kesadaran yang cukup untuk meninggalkan pandangan lama dan bergeser ke pandangan baru. Jika ini terjadi, apakah lalu orang lantas mudah untuk berubah? Ternyata tidak. Black dan Gregersen (2003) menjelaskan bahwa meskipun orang sudah mau mengadopsi pandangan baru yang lebih benar dan meninggalkan pandangan lama yang keliru, tidak berarti dia serta merta mau berubah. Bahkan dalam banyak kasus, di sini banyak “jebakan batman” yang membuat orang terperangkap dan tidak bisa move on. Bukankah kita sering mendengar ungkapan-ungkapan berikut ini?
“Saya sebenarnya sudah berniat belajar secara teratur dan tidak mau lagi menggunakan cara SKS, tapi sulit sekali memulainya.”
“Saya sudah berniat berhenti merokok, tapi saya takut tidak kuat menahan godaan yang pasti akan muncul tiap harinya.”
Bagaimana mungkin saya lepas dari laptop dan gadget, dan meninggalkan kebiasaan langsung merespons setiap notifikasi yang muncul?”
Semua contoh di atas menunjukkan ekspresi ketidakberdayaan untuk melangkah, meski mereka sudah tahu bahwa mereka harus melangkah dan berubah. Apa yang membuat mereka ragu-ragu? Apakah mereka begitu bodohnya, karena sudah tahu bahwa mereka harus berubah, tetapi tidak mau move on?
B&G mengatakan, justru mereka tidak bodoh. Mereka gamang. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa dengan melangkah menjalani perubahan, mereka akan keluar dari zona nyaman dan masuk dalam zona gelap yang penuh dengan ketidaknyamanan. Dan mereka tidak pandai dalam menjalani zona tidak nyaman tersebut. Bayangan ketidaknyamanan dan ketidakmampuan dalam berada di zona gelap inilah yang menghantui mereka, dan akhirnya memunculkan pertanyaan: apa jadinya diriku nantinya?
Coba tanyakan ke seorang perokok yang insyaf dan akan memulai menghentikan merokoknya. Pertanyaan besarnya pastilah: bagaimana saya bisa menjalani hari-hari saya dengan penuh penderitaan? Bagaimana saya harus mengatasi godaan-godaan yang muncul? Dari situlah kemudian muncul keraguan, dan itulah yang kemudian membuat mereka berhenti melangkah.
Bagaimana cara mengatasi keraguan ini?
Pertama, harus disadari bahwa tiap perubahan memang selalu begitu. Selalu saja ada zona tidak nyaman yang harus dilalui. Selalu saja kita harus menjalani tahapan yang kita tahu pasti kita akan merasa bodoh, kedodoran, resah, awkward, dan berbagai rasa negatif lainnya. Coba tanya tiap penggila gadget saat dia jauh dari gadgetnya. Atau seorang mahasiswa yang mencoba mulai belajar utk UTS/UAS sejak sebulan sebelumnya. Berat sekali…
Dengan demikian, kata kunci untuk melaluinya dengan baik adalah: keyakinan. Keyakinan bahwa setelah menjalani tahap kegelapan tadi, suatu saat kita akan sampai pada terang. Saat di mana kita sudah bisa menyesuaikan diri dengan tujuan perubahan. Saat di mana kita sudah nyaman dengan hal yang baru. Hal yang kini kita anggap benar.
Setelah keyakinan tumbuh, berikutnya tumbuhkan pula motivasi internal untuk benar-benar memulai perubahan. Nah, tiap individu bisa berbeda dalam hal ini. Ada seseorang yang dengan mudah menumbuhkan motivasi internalnya, tapi ada juga yang sulit sekali melakukannya. Untuk yang sulit menumbuhkan motivasi internal, carilah dukungan dari luar. Carilah, misalnya, orang lain yang bisa memotivasi dan membuat kita tetap on the track.
Begitu motivasi tumbuh, langsunglah bergerak, memulai perubahan. Jangan tunda-tunda lagi. Kalau ada gaya kelembaman bekerja, kalahkan dengan keyakinan dan motivasi. Pikirkanlah tujuan di depan, bahwa hari baru yang lebih cerah dan lebih baik daripada hari-hari lama sudah menunggu untuk diraih. Janganlah sibuk dengan berbagai ketidaknyamanan yang dialami saat menjalani perubahan.
Menjalani perubahan juga bisa dibantu dengan membangun kondisi dan atmosfer yang kondusif. Jauhkan diri dari hal-hal yang terkait dengan pandangan dan kebiasaan lama yang akan ditinggalkan. Jangan dekat-dekat dengan rokok jika ingin meninggalkan kebiasaan merokok. Gantilah smartphone dengan HP jadul yang hanya bisa untuk menelpon dan SMS jika ingin menghilangkan kebiasaan “notif-sensitive”.
Sulit ya? Memang. Ini sebabnya tidak banyak orang yang mau berubah dengan kesadaran sendiri. Tapi saya yakin, perubahan yang didasari oleh kesadaran sendiri akan membawa hasil yang lebih baik, karena perubahan itu akan punya daya dorong yang lebih kuat, lebih terencana, dan lebih jelas tujuannya.
Bagaimana, sudah siapkah kita untuk berubah?