Menjadi guru besar (profesor) pastilah menjadi idaman banyak dosen. Selain statusnya yang memang keren, secara finansialpun jabatan akademik ini menjanjikan kemapanan. Meskipun persyaratan menjadi profesor semakin hari semakin berat, tetap saja jabatan ini menjadi cita-cita sebagian besar dosen.
Bagaimana dengan saya? Well, sejujurnya secara pribadi saya tidak terlalu tertarik dengan apakah saya kelak akan menjadi profesor atau tidak. Personally, sikap saya mengalir saja, mengikuti kemana saya akan dibawa. Tapi sepertinya saya tidak bisa bersikap seperti itu, karena itu egois. Dari mulut ibu saya pernah terucap keinginan bisa menyaksikan anaknya berpidato di Sidang Senat Terbuka. Istri saya juga berkali-kali menyampaikan keinginannya agar saya bisa mencapai jenjang tertinggi tersebut. Belum lagi institusi saya yang jelas-jelas menginginkan dosen-dosennya memiliki jabatan akademik setinggi mungkin.
Baiklah. Saya akan berusaha untuk memenuhi harapan-harapan tersebut. Saya akan berjuang, dan saya sadar, perjuangan ini pasti akan berat. Bukan hanya karena persyaratan formalnya yang semakin tinggi dan juga faktor X yang sering muncul dalam proses pengusulan kenaikan jabatan, tapi karena faktor intrinsik saya. Saat ini saya sedang diberi amanah menjadi Wakil Dekan di fakultas terbesar dalam universitas terbesar di Indonesia. Keseharian saya dipenuhi dengan tugas-tugas manajemen dan administratif, sehingga waktu untuk kepentingan karir saya sendiri menjadi sangat minim.
Kalau mengikuti peraturan Dikti, saya harus melakukan banyak hal yang terkait dengan penelitian dan publikasi. Tantangan bagi saya adalah bagaimana saya bisa melakukan publikasi pada jurnal-jurnal internasional yang bereputasi atau menulis buku yang berbobot dalam kekangan keterbatasan fokus dan waktu.
Demikianlah situasinya. Saya akan berusaha mencapai puncak tertinggi dengan cara yang baik dan sesuai dengan kaidah dan peraturan yang berlaku.
Dan saya akan membawakan proses yang saya jalani ini sebagai sebuah “pertunjukan”. Ya…selayaknya sebuah cerita yang bisa dinikmati banyak orang. Caranya? Saya akan ceritakan apa yang saya lakukan, saya alami, dan saya rasakan dalam jejaring sosial, Facebook khususnya. Dalam timeline saya, saya akan munculkan status-status yang terkait dengan proses yang saya jalani dengan tag [MenujuPuncakTertinggi]. Seiring dengan berjalannya waktu, rangkaian posting status dalam timeline saya akan membentuk semacam “film” yang bisa dinikmati para pembacanya. Memang “film” ini tidak ada skenarionya, tapi pasti akan ada cerita yang muncul.
Mengapa saya melakukan sesuatu yang mungkin dianggap tidak lazim ini?
Sederhana saja: saya ingin berbagi. Saya yakin akan ada banyak pelajaran yang bisa saya petik dari proses ini, dan inilah yang ingin saya bagi. Di dalam “film” ini pasti akan muncul pelajaran tentang kekuatan niat, persistensi dan daya juang, kesabaran, kepasrahan, dan sebagainya. Alangkah indahnya bila nilai-nilai luhur yang muncul bisa di-echo ke khalayak yang lebih luas, utamanya para mahasiswa dan adik-adik saya, para dosen muda.
Saya ingin agar anak-anak saya, para mahasiswa, dan adik-adik saya bisa belajar dari kehidupan, untuk menjalani kehidupan masing-masing. Dalam keseharian kita ada banyak petunjuk dan pelajaran. Bagaimana untuk tidak mudah menyerah, bagaimana bisa mengelola waktu, bagaimana tidak terjebak dalam zona nyaman, dan sebagainya. Yang semacam ini yang saya harapkan muncul dari “film” ini nantinya. Jadi tujuan besar dari “film” ini adalah ajakan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Menariknya membuat “film” di jejaring sosial adalah para pemainnya bisa banyak sekali. Yang terlibat di dalamnya bukan saya, tapi juga teman-teman saya di Facebook. Siapapun yang menyatakan ‘like’ atau memberi komentar, mereka adalah pemain film, dan dialog apapun yang muncul terkait dengan sebuah status akan menjadi dialog di dalam “film” tersebut.
Menariknya lagi, cerita dari “film” ini ditentukan oleh konteks yang muncul. Saya membayangkan nanti saya akan mengalami masa-masa bersemangat, senang, sedih, merasa kecewa, bahkan mungkin berputus asa. Saya mungkin akan berteriak, mengeluh, atau meluapkan kegembiraan. Atau bisa saja pada titik-titik tertentu saya mengharapkan bantuan dari teman-teman. Begitu berbagai ekspresi itu muncul, pasti akan ada respon. Respon itu kemudian bisa memicu saya untuk melakukan aksi-aksi tertentu. Rangkaian kejadian inilah yang pada akhirnya membangun cerita “film” ini.
Berapa lama pertunjukan “film” ini akan berlangsung? Tidak tahu. Saya juga tidak bisa memastikan bagaimana akhir dari pertunjukan ini. Bisa saja berakhir dengan happy ending, bisa juga berakhir dengan pahit. Tapi apapun hasilnya, bagi saya yang penting adalah pelajaran yang bisa dipetik.
Akhirnya, selamat menikmati…bantulah saya untuk membuat “film” yang menarik dan inspiratif. Terima kasih…