Maaf jika judulnya agak provokatif, karena Dikti memang perlu dikritisi secara keras.
SIPKD sudah hidup lagi, dengan tampilan baru, tetapi semangatnya masih yang lama. Saya belum sempat mencobanya kembali, tetapi dari cerita teman-teman yang sudah pernah mengakses, sepertinya juga masih ada masalah.
SIPKD sekarang dibuka secara terbatas, pemakai diberi jadwal untuk mengaksesnya. Senin dan Selasa untuk para guru besar dan dosen dengan jabfung lektor kepala, dan seterusnya. Beberapa teman berjabfung lektor yang sudah pernah mencoba pada hari yang dijadwalkan ternyata tidak bisa, dan setelah mengulangi pada hari untuk asisten ahli ternyata bisa. Setelah dianalisis ternyata data di databasenya Dikti (Forlap) ternyata memang masih asisten ahli.
Dan di titik inilah persoalan dimulai.
Sepertinya SIPKD mengambil data dari Forlap (dalam contoh di atas: data jabfung). Secara konsep desain sistem informasi, memang sebaiknya begitu: data bisa dipertukarkan antara sistem satu dengan sistem lainnya. Tidak perlu sebuah aplikasi membangun database-nya sendiri jika data yang diperlukan bisa disediakan oleh aplikasi lain.
Persoalannya adalah kenyataan bahwa data Forlap tidak dalam kondisi terbarui. Banyak data yang tidak akurat, bahkan tidak benar yang tersimpan di Forlap. Dan data inilah yang kemudian digunakan di SIPKD (dan mungkin juga di sistem-sistem lain), dan menjadi landasan pengambilan keputusan (kenaikan jabatan, misalnya).
Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika pengambilan keputusan didasarkan pada data sampah (rubbish). Teori sistem informasi mengatakan bahwa input data sampah akan menghasilkan informasi sampah pula. Jika informasi sampah ini digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan, jelas kualitas keputusannya juga tidak baik. Seorang dosen X dengan jabatan lektor ingin naik ke lektor kepala. Dia sudah mengisi SIPKD dengan baik, tetapi usulan kenaikan jabatannya ditolak oleh sistem karena menurut data Forlap si dosen masih asisten ahli….Sungguh mengenaskan.
Jadi persoalannya adalah: SIPKD tergantung pada data di Forlap, sementara proses pembaruan data di Forlap tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini menjadi bom waktu. Jika bom ini meledak, keadaan akan menjadi chaos. Dosen yang dirugikan pasti protes (dalam hal ini ke Dikti karena Dikti-lah yang menjalankan sistem-sistem itu). Dikti tidak mau disalahkan karena sistemnya mengambil data dari Forlap, sementara data Forlap diisi dan diperbarui oleh perguruan tinggi (PT). Kalau data tidak terbarukan, berarti yang salah PT-nya. Bukankah ini sama saja Dikti membenturkan dosen dengan PT-nya sendiri dan seolah tidak mau disalahkan? Dikti seolah bilang,”Hey dosen, kamu jangan komplain ke saya. Aku hanya menyediakan sistem. Yang mengisi SIPKD dirimu sendiri, dan yang mengupdate data dirimu adalah PTmu sendiri. Kalau mau komplain, komplainlah ke PTmu sendiri”.
Sungguh suatu skenario yang menarik…dan ini baru urusan kenaikan jabatan. Bagaimana nanti jika database induk ini digunakan untuk melakukan perencanaan strategis pengembangan PT, mengembangkan kerjasama, dan sebagai sumber referensi bagi banyak keperluan? Semakin banyak sistem informasi yang mengakses data yang tidak valid, semakin besar potensi kekacauan yang bisa ditimbulkannya.
Jadi jika suatu hari nanti para dosen menerima surat edaran dari pejabat Dikti yang menyatakan bahwa mulai hari itu proses pengusulan kenaikan pangkat/jabatan sepenuhnya didasarkan pada SIPKD, saat itulah pewaktu (timer) bom mulai berjalan menghitung mundur…
Satu kesalahan lagi yang dilakukan Dikti: mengasumsikan bahwa semua perguruan tinggi besar dan kecil telah siap untuk mengikuti proses dan mekanisme online. Bukan masalah infrastrukturnya, tetapi penyelarasan sistem dan proses birokrasinya yang masih menjadi problem besar. Kalau Dikti mau menggunakan Forlap sebagai basisdata dasar untuk berbagai urusan, siapkan dulu PT-PT yang ada agar mereka memiliki governance yang baik. Pencatatan dan pelaporan secara berdisiplin harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses-proses administrasi akademik. Perlu ada sistem quality assurance untuk data juga. Hanya dengan cara inilah kualitas data Forlap akan meningkat dan terpercaya.
Ketidaksiapan dalam menjalankan sistem-sistem terkomputerisasi online juga terjadi pada level individual dosen. Berapa banyak dosen yang tertib menyimpan SK-SK yang dia peroleh selama bekerja? Berapa banyak dosen yang masih punya salinan surat ijin Setkab waktu studi di luar negeri dulu? Kemarin kita menganggap bahwa dokumen-dokumen tersebut sudah tidak bernilai lagi, hilang juga tidak apa-apa, padahal tradisi mengarsip itu penting dalam proses-proses birokrasi onlen.
So far so good… sampai hari ini saat proses kenaikan jabatan memaksa kita untuk juga menyertakan dokumen-dokumen yang tidak kita anggap penting itu. Bayangkan jika usulan kenaikan jabatan saya harus dilampiri juga dengan surat ijin belajar saat studi S3 ke Australia 15 tahun yang lalu. Pasti saya akan heboh mencari surat itu. Pertanyaannya: jika memang surat saya sudah hilang, apakah saya sama sekali tidak bisa naik jabatan? Rasanya kok sangat aneh jika saya benar-benar tidak bisa naik jabatan.
Dikti tidak boleh mengabaikan bahwa banyak dosen yang belum siap bekerja dengan sistem online. Bukan masalah mengoperasikan sistemnya, tapi pada kesediaan mereka untuk mengubah cara kerja agar bisa berjalan seiring dengan sistem online tersebut. Kalaupun Dikti ingin menerapkan kebijakan baru, harus ada solusi bagi dosen-dosen yang tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan nonsubstansial. Surat ijin Setkab bisa diganti dengan surat pernyataan dari Dekan, misalnya. Tanpa ada workaround temporer seperti ini, dosen akan frustrasi dan pada akhirnya akan muncul chaos juga.