Dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Tinggi Tersembunyi”, Prof Sulistyowati Irianto menyampaikan beberapa problem struktural yang menyebabkan institusi perguruan tinggi di Indonesia sulit berkembang (Kompas, 23 Nov 2019). Kemalangan perguruan tinggi (PT) masih ditambah dengan fakta yang akhir-akhir ini banyak bermunculan: ternyata banyak PT kita yang gagap ketika diminta untuk menceritakan pandangannya terhadap posisinya, arah dan tujuan pengembangannya, strategi pencapaian tujuannya, dan bagaimana mereka menjamin keberhasilan upaya-upaya pencapaian tujuan tersebut.
Fakta ini muncul dengan jelas ketika Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) meluncurkan instrumen akreditasi yang baru. Instrumen baru ini menekankan pada kemampuan mengevaluasi diri institusi PT dan program-program studi di dalamnya. Dari interaksi dengan cukup banyak pengelola PT, hampir semuanya mengeluhkan hal yang sama: kesulitan untuk menyusun Laporan Evaluasi Diri, dokumen yang menjelaskan pandangan PT terhadap kondisi diri dan rencana pengembangannya. Problem yang dihadapi seragam: kesulitan untuk menemukenali berbagai potensi, peluang, kekuatan, ancaman, dan kelemahan; menggunakan semua itu sebagai dasar perencanaan pengembangan; dan merumuskan strategi penjaminan mutu untuk memastikan program-program pengembangan berjalan dengan baik.
Fakta ini menunjukkan masalah yang serius: bahwa ternyata PT kita lemah dalam pengembangan institusi secara berkelanjutan. Pengembangan institusi tidak dilakukan berdasarkan perencanaan berbasis evaluasi diri. PT memang memiliki dokumen Rencana Strategis (Renstra), tetapi dalam banyak kasus, Renstra tersebut hanyalah sekedar dokumen. Tujuan, sasaran, dan indikator di dalamnya tidak disusun berdasarkan proses temukenali diri yang jernih dan obyektif, tidak pula digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan program-program pengembangannya. Pada akhirnya banyak program dan kegiatan yang muncul sebagai respon impulsif terhadap berbagai rangsangan atau tekanan yang terjadi di sekitar PT. Pengembangan diri yang bersifat reaktif tentu saja berpotensi tidak sesuai dengan jati dirinya. PT memang akan tumbuh, tetapi arahnya tidak dijamin menuju ke optimalisasi relevansi dari eksistensinya. Produksi lulusannya banyak, tapi banyak yang menganggur. Penelitian menumpuk, tetapi tidak menjawab kebutuhan industri dan masyarakat. Kata Benjamin Franklin, “If you fail to plan, you are planning to fail”. PT yang kehilangan relevansinya tinggal menunggu waktu untuk hilang dari peredaran.
Fenomena di atas berakar dari ketidakmampuan PT membaca dirinya sendiri. Kesadaran terhadap diri sendiri lemah karena PT selalu dikondisikan untuk melihat keluar dirinya sendiri (outward-looking). Salah satu penyebabnya adalah kondisi overregulated yang dialami oleh PT. Semuanya serba diatur dan diseragamkan. Ibarat anak kecil, PT selalu dipaksa untuk mengikuti kata orang tuanya, sedikit sekali diberi kebebasan untuk berkembang sesuai dengan kondisi alamiahnya. Lebih parahnya lagi, diciptakanlah kondisi kompetitif di antara PT. Secara naluriah, berbagai pemeringkatan yang disodorkan ke PT semakin membuat mereka terasing dari jati dirinya. Fokus mereka terpaku pada meraih peringkat setinggi-tingginya tanpa peduli apakah yang dikompetisikan itu cocok bagi mereka. Ketika instrumen akreditasi baru menyapa mereka dan menanyakan,”Bagaimana engkau melihat dirimu sendiri dan membuat rencana pengembangan yang paling bersesuaian dengan kondisimu tersebut?”, bingunglah PT-PT tersebut.
Bagaimana membuat PT sadar terhadap dirinya sendiri? Strategi yang paling mendasar tentulah dengan memberikan lebih banyak kebebasan bagi mereka. Lingkungan eksternal harus memberikan ruang yang cukup luas bagi PT untuk membangun identitas dan menentukan arah serta fokus pengembangan secara independen. Kondisi overregulated harus dihilangkan, dan tidak semuanya harus diseragamkan. Tidak semua PT harus mempublikasikan artikel terindeks Scopus sebanyak-banyaknya. Inisiatif untuk mengembangkan dan memraktekkan keilmuan berbasis kearifan lokal juga tidak kalah pentingnya. Di negara-negara maju, teaching universities tidak kalah mentereng dibandingkan research universities. Tentu saja tetap perlu ada standarisasi kualitas dan kerangka regulasi yang berfungsi sebagai platform dasar bagi aktualisasi diri tiap PT, tetapi di atas platform tersebut, kebebasan untuk menentukan arah pengembangan harus diberi ruang untuk berkembang.
Proses penyadaran diri akan lebih mudah dijalankan ketika PT diberi kesempatan untuk berkontemplasi. Kontemplasi bagi institusi berarti membiarkannya mengembangkan diskursus-diskursus internal bertemakan pengenalan diri dalam suasana tanpa intervensi ide, konsep, atau pemikiran dari luar. PT jangan banyak diganggu oleh keriuhan yang muncul akibat kebijakan yang berubah-ubah atau yang distracting dari tugas pokoknya. “Keheningan” akibat isolasi pengaruh eksternal, dikombinasikan dengan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik yang berlandaskan kejujuran dan obyektivitas, dapat menjadi pembuka tabir penghalang PT dengan kesejatian dirinya.
Membebaskan PT untuk menentukan arah pengembangan sesuai dengan jati dirinya dapat memberikan dampak strategis. Pertama, rasa kemerdekaan yang timbul pada tiap PT akan memunculkan kepercayaan diri yang besar. Ini menjadi modal penting bagi PT untuk melakukan hal-hal yang besar pula. Kedua, pengembangan keilmuan dan penerapannya akan lebih beragam karena keunggulan PT dapat diarahkan ke berbagai bidang yang diperlukan oleh masyarakat. Kebebasan adalah adalah salah satu hak asasi manusia. Kampus-kampus kitapun memerlukannya untuk menapak ke tingkat yang lebih tinggi.