Sejak diumumkan oleh Mendikbud akhir bulan Januari yang lalu, inisiatif Kampus Merdeka telah memunculkan beberapa bibit perubahan. Beberapa kampus sudah memberikan penjelasan tentang bagaimana mereka merespon kebijakan baru tersebut. Hampir semua respon tersebut membicarakan tentang bagaimana mereka memfasilitasi kebebasan bagi mahasiswa untuk belajar di luar prodi dan di luar perguruan tingginya melalui program magang, kuliah online, dan sebagainya. Dengan rancangan respon semacam itu, dapatkah kemerdekaan belajar bagi mahasiswa mencapai tujuannya, yaitu memberikan bekal yang lebih baik bagi mahasiswa dalam menghadapi masa depannya?
Kata “kemerdekaan” menunjukkan semangat untuk membebaskan. Ada visi besar dan motivasi kuat di dalam ide tersebut. Karena itu, kemerdekaan belajar dalam kebijakan Kampus Merdeka tidak bisa dimaknai pada tataran operasional saja, tetapi harus menyentuh tataran nilai dan konsep yang lebih fundamental. Selain itu, kemerdekaan belajar tidaklah berdiri di ruang kosong, ia mengait dengan elemen-elemen pembelajaran yang lain. Keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh koherensinya dalam sebuah sistem pendidikan tinggi yang memiliki akar yang kuat.
Sebagai sebuah nilai, kemerdekaan merupakan hak dasar yang melekat pada tiap individu, termasuk mahasiswa. Meskipun demikian, sesuai dengan tata nilai yang dianut secara universal, kemerdekaan selalu ditempatkan dalam kerangka harmonisasi: ke dalam mencerminkan keutuhan, keluar menunjukkan keselarasan. Kemerdekaan belajar yang diusung Kampus Merdekapun seharusnya memiliki karakteristik ini: memiliki integritas yang terinternalisasi secara konsisten, dan semangat menyelaraskan semua elemen yang terlibat.
Untuk bisa direalisasikan, nilai harus diterjemahkan menjadi konsep. Dalam konsep, mulai muncul entitas-entitas yang saling terkait. Sebagai konsep tentang metode belajar, kemerdekaan belajar sangat terkait dengan tiga elemen lainnya: kurikulum, SDM (dosen), dan lingkungan pembelajaran. Keempatnya saling terkait, jika satu titik ditarik, yang lain akan mengikuti. Ketika metode belajar konvensional didisrupsi untuk mewujudkan semangat membebaskan, mau tidak mau kurikulum, pengelolaan SDM, dan lingkungan pembelajaran harus disesuaikan dengan semangat yang sama. Konsep kebebasan untuk memilih cara belajar perlu didukung oleh konsep-konsep inovatif dalam penyusunan kurikulum, pengelolaan dosen, dan pembentukan lingkungan pembelajaran.
Kurikulum adalah kerangka sistem pembelajaran yang dijalankan oleh sebuah program studi. Sebagai sebuah rumusan metode belajar, konsep “merdeka belajar” seharusnya tunduk pada kerangka kurikulum. Sayangnya konsep baru tentang cara belajar ini bergeser secara radikal sehingga kerangka yang ada tidak lagi mampu menaunginya dengan baik. Ini terlihat ketika definisi capaian pembelajaran dalam kurikulum program studi (student outcome) yang pada umumnya disusun berdasarkan cara pandang yang linear dan homogen tidak mencakup perluasan wawasan dan terakuisisinya ketrampilan-ketrampilan hidup (life skills) yang merupakan dampak dari kebebasan belajar. Ketika student outcome berubah, maka keseluruhan kurikulum harus ditinjau ulang. Pengabaian terhadap hal ini akan mengakibatkan kemerdekaan belajar bagi mahasiswa tidak memiliki akar yang kuat karena tidak ditopang oleh kerangka yang efektif.
Terkait SDM, perlu kehati-hatian ketika konsep kemerdekaan belajar mahasiswa dihadapkan kepada dosen, karena konsekuensinya bisa jadi malah membuat dosen bertambah bebannya. Dosen akan mengajar lebih banyak mahasiswa, menghadapi mahasiswa yang sangat heterogen, dan harus belajar teknologi baru (untuk kuliah-kuliah online), sementara beban-beban reguler lainnya tidak berkurang. Kemerdekaan di sisi mahasiswa harus disandingkan dengan kemerdekaan di sisi dosen agar prinsip harmoni terpenuhi dan tujuannya tercapai.
Elemen lingkungan pembelajaran sangat menentukan apakah kemerdekaan akan berkembang dengan baik atau tidak. Kemerdekaan memerlukan fleksibilitas dan kemudahan dalam bergerak secara dinamis. Untuk mendukung ini, lingkungan pembelajaran perlu merilekskan batas-batasnya untuk memberikan lebih banyak keluwesan sekaligus melancarkan aliran-aliran aktivitas yang melibatkan seluruh komponen sistem pendidikan tinggi. Integrasi dan kolaborasi harus menjadi warna dominan dalam pengembangan lingkungan belajar yang kondusif.
Ketika semua konsep di atas akan diimplementasikan pada tataran operasional, diperlukan perubahan yang masif dan kompleks pada aspek-aspek regulasi, tatakelola, maupun prosedur kerja di semua lini di perguruan tinggi. Dapat dikatakan ini merupakan restrukturisasi perguruan tinggi yang cukup mendasar, bukan sekedar program yang bersifat ad-hoc dan superfisial. Penawaran matakuliah online, peluang magang di industri, dan inisiatif-inisiatif lain yang sering diklaim sebagai respon terhadap kebijakan Kampus Merdeka seharusnya dianggap sebagai puncak gunung es. Program-program inovatif semacam itu adalah muara dari perubahan-perubahan sistemik yang dilakukan pada berbagai aspek yang terkait. Jika program-program tersebut muncul begitu saja tanpa disertai dengan perubahan secara holistik, maka dikhawatirkan kemerdekaan belajar yang ditawarkan harus dibayar mahal dalam bentuk inkompetensi mahasiswa, ketidakbahagiaan dosen, mutu proses pembelajaran yang diragukan, administrasi pendidikan yang kacau, atau berbagai masalah lainnya.