Pembimbing adalah orang lain yang paling berpengaruh selama mahasiswa menjalani risetnya. Pembimbing adalah mitra yang mengarahkan, memotivasi, memperkaya wawasan, dan mengoreksi kesalahan. Pembimbing bahkan bisa menentukan hasil akhir studi mahasiswa, karena dialah yang memutuskan kapan riset S3 bisa diakhiri. Dia pula yang memilih penguji-penguji dalam ujian akhir. Karena perannya yang vital ini sebaiknya baik mahasiswa maupun pembimbing saling kenal dahulu sebelum memulai interaksinya.
Pertanyaan yang sering muncul dari seseorang yang sedang mencari perguruan tinggi adalah: universitas mana yang harus saya pilih? Pertanyaan lainnya: apakah universitas X bagus mutunya, bagaimana bila dibandingkan dengan universitas Y?
Memilih perguruan tinggi untuk studi doktoral beda dengan memilih untuk studi S1 atau S2. Studi S3 lebih bersifat individual dan mandiri, sehingga faktor-faktor penentu pilihannyapun berbeda. Untuk memilih sekolah untuk S3, faktor-faktor umum seperti ranking perguruan tinggi menjadi kurang relevan. Justru hal-hal yang bersifat spesifik yang lebih menentukan. Berikut ini beberapa faktor yang bisa dipertimbangkan.
Keluarga adalah faktor pendukung penting dalam suksesnya studi S3, terutama dalam menjaga agar semangat dan motivasi tetap tinggi. Sebelum melamar program S3, sangat disarankan keluarga, terutama pasangan calon mahasiswa (suami atau istri), dimintai persetujuan dan dukungannya. Ini adalah modal penting dalam memulai perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tantangan, dan kendala.
Saya sering dimintai bantuan untuk membuat surat rekomendasi bagi mahasiswa yang akan melamar beasiswa untuk ikut program studi lanjut, pertukaran mahasiswa, kunjungan singkat, dan sebagainya. Tadi siangpun ada mahasiswa yang meminta saya membuatkan surat rekomendasi itu. Iseng-iseng saya tanya,”Mas, tujuan anda mencari beasiswa ke luar negeri ini untuk apa?”. Dia menjawab,”Saya ingin belajar tentang teknologi informasi pak.” Saya lalu bilang lagi,”Mas, andaikan yang bertanya seperti itu adalah pemberi beasiswa, pasti anda tidak lolos seleksi. Dia tidak akan tertarik dengan jawaban yang naif semacam itu.” Dia akan berpikir,”Ngapain saya harus susah-susah keluar uang untuk membiayai anda belajar TIK di luar negeri? Di Indonesia saja kan bisa…”
Studi S3 pada umumnya memerlukan dana yang tidak sedikit. Untuk bidang-bidang tertentu bahkan kebutuhan dananya besar sekali, terkait dengan alat dan bahan yang diperlukan untuk risetnya. Bagi banyak calon mahasiswa S3, biaya ini berada di luar jangkauan kemampuan keuangan pribadinya, sehingga keberlangsungan studinya sangat tergantung pada ketersediaan sumber dana pendukung (beasiswa).
Masa sekolah S3 adalah masa yang penuh ketidakpastian, karena riset S3 pada hakekatnya adalah aktivitas eksplorasi terhadap hal-hal yang belum diketahui. Banyak kemungkinan bisa terjadi, dan kadang-kadang efeknya bisa menggoyahkan mental. Yang juga perlu diperhatikan adalah terkadang peristiwa-peristiwa yang harus dihadapi tidak hanya berkaitan dengan riset, tetapi juga menyangkut faktor-faktor lain seperti dana, pembimbing, bahkan keluarga.
Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3 tanpa riset. Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti dengan baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak maksimal. Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa menyiapkan diri dengan baik.
Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawabannya sederhana saja: memenuhi harapan bapak. Dulu bapak saya pernah mengatakan,”Kalau serius mau jadi dosen, ya harus sekolah sampai doktor”. Apa alasan persisnya, bapakpun mungkin juga tidak tahu. Tiap orang punya jawaban yang berbeda. Spektrumnyapun bisa bervariasi, dari jawaban yang iseng sampai yang sangat serius dan ilmiah. Meskipun mungkin menarik untuk membahas jawaban-jawaban tersebut, tapi Bab ini tidak akan membicarakan tentang hal itu. Bab ini justru akan mengupas tentang hal-hal yang “berat” dari gelar doktor. Maksudnya bukan untuk mengecilkan semangat bagi mereka yang akan berusaha meraihnya, tapi lebih pada meletakkan gelar tersebut pada posisi dan peran yang sesuai, agar siapapun yang memiliki gelar ini bisa memberikan kontribusinya secara maksimal.
Saat ini gelar doktor memang sedang menjadi primadona. Sesuatu yang sexy, kata orang, sehingga banyak diburu. Siapa saja yang gencar memburu gelar ini? Mengapa mereka melakukannya?
Musim ujian sudah berlalu. Mahasiswa mulai menikmati liburan, sementara dosen mulai bekerja memeriksa jawaban-jawaban mahasiswa. Ini adalah rutinitas tiap semester dan selama lebih dari 20 tahun menjadi dosen, ada banyak sekali ragam jawaban mahasiswa yang unik. Unik di sini dapat mengandung berbagai kesan. Ada jawaban yang seakan sok tahu, ada yang lebay, ada yang terlihat putus asa, dan ada pula yang mengenaskan.
Kita mungkin pernah mendengar percakapan antara sepasang suami istri seperti berikut ini.
Istri: “Mas, aku mau beli baju motif ini. Bagusnya yang warna pink atau merah ya?” (sambil mematut-matut dua potong baju berwarna pink dan merah di sebuah toko)
Suami: “Merah saja”
Istri: “Aku lebih suka yg pink, mas”
Suami: “Ya sudah, beli yang pink saja. Kalau sudah punya pilihan, mengapa harus bertanya lagi? Buang-buang waktu saja.” (menjawab dengan nada agak tinggi karena jengkel)
Istri: “Ayo pulang saja mas, aku ga jadi beli baju” (dan suaminyapun menjadi bingung…)